POTRET PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PASCAREFORMASI

Posted by Unknown on Kamis, 22 Maret 2012

POTRET PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA PASCAREFORMASI

Pendahuluan

Sejak beberapa tahun yang silam hingga saat sekarang ini, masyarakat dan bangsa Indonesia berada dalam euphoria reformasi. Segala-galanya dilimpahkan pada gelombang yang sedang mengubah sendi-sendi dasar kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, dimana salah satu agenda gelombang reformasi dari sembilan agendanya adalah reformasi pendidikan (Tilaar, 2002: 48). Era reformasi sendiri sudah berjalan sekitar 12 tahun.

Setelah reformasi berjalan, maka yang muncul kemudian adalah refleksi apa makna reformasi bagi pendidikan. Dan bagi kita yang berkecimpung di lembaga pendidikan Islam, tentu bertanya sejauh mana tantangan dan peluang pendidikan Islam setelah bergulirnya reformasi.

Pasca reformasi adalah menarik untuk melihat kembali posisi pendidikan Islam dan memotret perkembangan lembaga pendidikan Islam. Sedikitnya ada dua alasan untuk fokus terhadap eksistensi pendidikan Islam pasca reformasi. Pertama, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional memberikan ruang yang cukup luas bagi pengembangan institusi pendidikan agama, khususnya Pendidikan Islam. Kedua, kondisi lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang sebahagian besar masih bersifat tradisional dan hanya dipandang sebagai pendidikan kelas dua, menyebabkan lembaga pendidikan Islam kalah bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya (Bakar dan Surohim, 2005: 3).

Menurut Azra (Arief, 2005: xi), selama kurun waktu lebih dari beberapa dasawarsa sejak Indonesia bebas dari kolonialisme, dunia pendidikan Islam di Indonesia dikatakan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kemajuan bangsa. Dan, bahkan pendidikan Islam di Indonesia belum mampu memberikan tanggapan atau jawaban ketika dituntut perannya untuk mengatasi berbagai persoalan moral dan mentalitas bangsa, khususnya umat Islam di Indonesia. Jujur harus dikatakan, bahwa pendidikan Islam saat ini kelihatan sering terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat sekarang dan masa mendatang.

Merespon tantangan perubahan tersebut, maka menuruf Malik Fadjar, pendidikan harus dikelola menurut manajemen modern dan futuristik sebagai usaha yang mengantarkan peserta didik ke posisi-posisi tertentu di masa depan. Yaitu, suatu manajemen yang berpretensi membangun manusia profesional-intelektual dan skilled dalam hal bagaimana mereka mampu bergaul di tengah-tengah komunitas global secara dinamis, kreatif, dan inovatif (Barizi, 2005: ix).

Berdasarkan latar belakang dan butiran-butiran pemikiran tokoh yang penulis sebutkan, maka artikel ini akan membahas bagaimana kondisi lembaga pendidikan Islam dewasa ini dan langkah rekonstruksi apa yang dapat dilakukan sehingga pendidikan Islam dapat menjawab tantangan yang ada bahkan menjadi lembaga pendidikan yang diminati dan berkualitas. Dengan demikian pendidikan Islam akan menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia yang sebenarnya adalah mayoritas umat Islam.

Pembahasan

a. Kondisi Lembaga Pendidikan Islam dan Tantangan Perubahan

Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, maka kita semua bertanggungjawab serta berkepentingan untuk menyajikan gagasan/ide tentang perlunya sebuah perubahan. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa pendidikan Islam di Indonesia sesungguhnya memerlukan sebuah penegasan akan eksistensinya, khususnya bila dilihat dari sudut kelembagaan. Dengan kata lain, dibutuhkan rekontruksi, yang dalam hal ini mencakup dua hal: pertama, rekonstruksi atas cara pandang “semua kalangan” (eksekutif, legislatif, politisi, ilmuwan, birokrat, dan sebagainya) tentang pendidikan Islam; kedua, memosisikan institusi/lembaga pendidikan Islam secara wajar dalam konteks tatanan/kebijakan pendidikan nasional.

Rekonstruksi atas cara pandang terhadap pendidikan Islam, menjadi tema yang patut dicermati secara tajam, sebab ada kecenderungan perbedaan pemahaman tentang pendidikan Islam pada sementara kalangan khususnya di pihak pemerintah.

Kalangan pemerintah memiliki cara pandang yang berbeda, sehingga membuat kebijakan berdasarkan cara pandang mereka sendiri. Dalam tataran praktis hal ini menimbulkan ketidakadilan, misalnya bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Jika dilihat dari Departemen Agama, seperti dikutif Azyumardi Azra, bahwa peranan pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan sampai sekarang dapat dikatakan sangat minimal. Data dari Departemen Agama menunjukkan bahwa MI swasta mencapai 95,2 persen sedangkan MIN hanya 4,8 persen. Keadaan ini terbalik dengan Sekolah Dasar Negeri yang berjumlah 93,1 persen dan SD swasta hanya 6,9 persen. Pada tingkat MTs terdapat 75,7 MTs swasta dan hanya 24,3 MTsN. Sedangkan SMPN berjumlah 44,9 persen berbanding 55,1 persen SMP swasta. Pada tingkat selanjutnya terdapat 70 persen MA swasta berbanding 30 persen MAN. Sedangkan SMUN berjumlah 30,5 persen berbanding SMU swasta sebanyak 69, 4 persen.

Kontras dengan inisiatif dan kontribusi kaum muslimin dalam menyelenggarkan community based education adalah kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif dalam penganggaran dan pendanaan pemerintah terhadap subsidi perkapita bagi anak-anak bangsa yang belajar pada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pada tahun 2000, anggaran biaya pendidikan persiswa MIN adalah Rp. 19.000 sedangkan siswa SDN adalah Rp. 100.000,- (1: 5,2); MTsN per siswa adalah Rp. 33.000 sedangkan persiswa SMPN adalah Rp. 46.000 (1: 1,4); sedangkan siswa SMUN Rp. 67.000,- per mahasiswa IAIN Rp. 50.000,- berbanding Rp. 150.000 permahasiswa universitas/institut negeri (1: 3) (Azra dalam Arief, 2005: 42).

Sementara sebahagian besar penyelenggara pendidikan swasta Islam menghadapi kesulitan dan keterbatasan, kepincangan anggaran bantuan atau subsidi dari pemerintah mengakibatkan mutu pendidikan Islam sangat rendah. Kebanyakan madrasah-madrasah swasta bukan hanya tidak mampu memiliki prasarana dan sarana pendidikan yang memadai, tetapi juga tidak mampu memberikan imbalan yang memadai bagi para guru dan tenaga kependidikan lainnya. Akibatnya madrasah-madrasah swasta ini hanya mampu memiliki jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya secara sangat terbatas, dan itupun dengan imbalan sekedarnya. Menurut Azra, situasi tersebut mengakibatkan banyak guru dan tenaga kependidikan yang salah kamar (mismatch), kualitas keilmuan yang tidak memadai (unqualified atau underqualified). Hanya sekitar 20 persen dari total guru madrasah yang layak (qualified); 20 persen mismatch, dan 60 persen belum atau tidak layak (unqualified atau unqualified) (Azra dalam Arief, 2005: 43).

Menurut Husni Rahim (2005: 37), Madrasah biasanya menerima murid dari kalangan rakyat bawah, maka hampir seluruh madrasah hanya memungut bayaran sekolah “sekedarnya”. Malah kadang-kadang cukup dibayar dengan singkong, pepaya dan sejenisnya. Dana yang dikumpulkan masyarakat muslim dalam pengembangan madrasah sangat terbatas, sementara biaya pendidikan semakin mahal, sehingga tuntutan untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK menyebabkan madrasah ketinggalan terus. Pada umumnya madrasah swasta berada dalam keadaan serba kekurangan karena menampung siswa-siswa dari ekonomi lemah. Akibatnya biaya untuk menunjang proses belajar mengajar dengan menggunakan berbagai fasilitas dan teknolngi tidak dapat dilakukan. Data Emis 2001 menunjukkan alokasi dana untuk proses belajar mengajar di madrasah hanya 5,6%, dana terbesar pada gaji dan honor serta pemeliharaan.

Dalam kondisi yang memprihatinkan seperti itu, bisa dipahami kalau gagasan dan rencana desentralisasi dan penempatan di bawah “satu atap” Departemen Pendidikan nasional menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut. Kedua, gagasan itu bukan hanya mengandung komplikasi kelembagaan dan struktur, tetapi pada gilirannya juga dapat memengaruhi masa depan dan eksistensi pendidikan Islam (Azra dalam Arief, 2005: 43).

Situasi di atas, merupakan gambaran dari dikotomi kelembagaan dan subtansial antara pendidikan agama dan keagamaan dengan pendidikan umum yang harus direkontruksi sehingga diskriminasi yang selama ini terjadi—karena cara pandang yang tidak berimbang—dapat diminimalisir, jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Gejala ini secara ekstrim oleh Umaruddin Masdar disebut sebagai colonial mindset, yaitu suatu pemikiran yang selalu tersetting sejalan dengan maksud-maksud kolonialisme.

Masalah kedua yang dihadapi oleh pendidikan Islam adalah dari sisi kelembagaan. Pertanyaannya adalah mengapa lembaga pendidikan Islam di Indonesia, sebagai agent of change masyarakat Islam seolah-olah tidak berdaya dan tidak mampu duduk sejajar dengan pendidikan lainnya, bahkan dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Tilaar, sebagaimana dikutip oleh Bakar dan Surohim (2005: 3), mengemukakan bahwa:

Dalam realitasnya justru pendidikan Islam belum responsif terhadap tuntutan hidup manusia dan masih menghadapi masalah-masalah kompleks. Hal ini dapat dilihat dari ketertinggalan dengan pendidikan lainnya, baik secara kuantitatif, maupun secara kualitatif yang belum meraih keunggulan kompetitif, sehingga masih cenderung dilabelkan sebagai pendidikan kelas dua. Memang terasa janggal, dalam suatu komunitas masyarakat muslim terbesar dan memiliki sejarah panjang dalam perjalanan pendidikan Islam di Indonesia, justru pendidikan Islam tersisih dari mainstream sistem pendidikan nasional.

Menurut Azra (2002: 59-60), ada beberapa fenomena yang menyebabkan pendidikan Islam selalu berada dalam lingkaran tersingkirkan. Pertama, pendidikan Islam sering terlambat untuk merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat, sekarang dan masa datang. Kedua, sistem pendidikan Islam kebanyakan masih cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi, dan matematika moderen. Ketiga, usaha pembaruan dan peningkatan sistem pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh yang hanya dilakukan sekenanya atau seingatnya, sehingga tidak terjadi perubahan secara esensial di dalamnya. Keempat, sistem pendidikan Islam tetap cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang berorientasi ke masa depan atau kurang bersifat future oriented. Kelima, sebahagian besar pendidikan Islam belum dikelola secara profesional baik dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya, sehingga kalah bersaing dengan yang lainnya.

Sedangkan Abdurahman Mas’ud (2002: 14) mengemukakan bahwa kelemahan pendidikan Islam secara umum adalah (1) Dunia pendidikan Islam kini terjangkit penyakit sindrom dikotomik, dan masalah spirit of inquiry; (2) Kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam dan lebih berorientasi pada konsep “Abdullah” daripada “khalifatullah” dan “hablum minallâh” daripada “hablum minannâs”; (3) Adanya orientasi pendidikan yang timpang, sehingga melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan Islam, dari persoalan filosofis sampai persoalan metodologis, bahkan sampai ke tradition of learning.

Menyinggung tentang pemikiran dikotomik antara agama dan pendidikan umum, antara ilmu-ilmua agama dan ilmu-ilmu umum, tiada lain adalah pengaruh dari usaha-usaha untuk mempersempit dan mengebiri ruang lingkup pendidikan Islam. Padahal jika disimak kembali sejarah peradaban Islam, maka puncak kemajuan peradaban Islam empat abad pertama sejak lahirnya Islam (7-11 M), tidak ditemukan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum (Mas’ud, 2002: 5). Nurcholis Madjid (2000: 135) mengemukakan bahwa, “Karena sikap orang-orang muslim klasik yang positif terhadap berbagai budaya bangsa-bangsa lain, maka peradaban Islam-lah yang pertama kali menyatukan khazanah ilmu pengetahuan bersama secara internasional dan kosmopolit”.

Secara teoritis, ajaran Islam tidak memberikan tempat dan pola fikir dikotomis dalam pendidikan Islam. Kecenderungan tersebut merupakan mainstream historis sehingga muncullah dikotomi, yang dalam istilah Masdar (2003: 9), hal-hal seperti itu disebut dengan colonial mindset, yang tentu saja kecenderungan seperti itu tidak pernah disadari apalagi diakui.

Selain masalah dikotomi, menurut Malik Fadjar (1999: 35), kelemahan umat Islam dalam menyelenggarakan pendidikan Islam, faktor utamanya terletak pada dataran epistimologis, yaitu bagaimana mencairkan nilai-nilai Islam sebagai seting sosial kultural yang berkembang. Dengan kata lain, umat Islam masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia, yaitu manusia yang memiliki etos, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai. Dalam rangka mewujudkan sistem nilai Islam pada bidang pendidikan menjadi sebuah sistim pendidikan yang dapat diandalkan, paling tidak ada dua cara. Pertama, meningkatkan kualitas berpikir dengan cara meningkatkan kecerdasan. Kedua, memperluas wawasan dan meningkatkan kualitas kerja melalui peningkatan etos kerja.

Mengenai tantangan pendidikan, Khaeruddin Kurniawan (1999) sebagaimana dikutif Armai Arief (2005: 6-7), merinci beberapa tantangan pendidikan menghadapi globalisasi: Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development). Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat tradional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM. Ketiga, tantangan meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.

Oleh karena itu, hal yang perlu digarisbawahi adalah perlunya para pemikir dan pengelola pendidikan Islam untuk bersikap proaktif dalam merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat kini dan masa datang, dengan tidak terpaku pada pemikiran sempit tentang ruang lingkup pendidikan Islam.

b. Upaya Rekonstruksi Lembaga Pendidikan Islam

Lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, boleh jadi telah membuka peluang yang lebih luas bagi pengembangan pendidikan Islam menjadi lebih maju. Banyak pihak merasa bahwa Undang-Undang SISDIKNAS yang baru secara konseptual merupakan titik balik pencerahan dalam mengembangkan, memberdayakan serta meningkatkan sistem pendidikan Islam di Indonesia. Undang_undang tersebut dalam konteks peningkatan kualitas menjadi sangat relevan. Harapan bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, seolah menemukan energi baru (Bakar dan Surohim, 2005: v).

Seperti dipahami bahwa di dalam Undang-Undang SISDIKNAS telah memberikan perspektif baru yang revolusioner bagi perbaikan sektor pendidikan, dimana pendidikan telah menjadi urusan publik secara umum dengan mengurangi otoritas pemerintah, baik bertalian dengan kebijakan kurikulum, manajemen, dan berbagai kebijakan pengembangan institusi pendidikan itu sendiri. Undang-undang SISDIKNAS dipandang sebagai salah satu bentuk reformasi di bidang pendidikan.

Menurut Toto Suharto (2005: 24), satu hal yang krusial dalam reformasi pendidikan ini adalah bahwa, baik dari pimpinan institusi, masyarakat sebagai stake holders maupun pemerintah (pusat dan daerah), tampaknya telah memiliki pandangan yang kreatif, dinamis, kolektif, dan visi yang sama dalam proses reformasi pendidikan. Dengan ini, reformasi pendidikan diharapkan dapat menghasilkan institusi dan lulusan yang potensial dan kompetitif.

Karena itu, banyak kalangan menilai bahwa sudah saatnya pendidikan Islam lebih bersikap rasional dan lebih berorientasi pada kebutuhan masyarakat luas. Apalagi sekarang ini, yang menjadi mainstream pemikiran pendidikan adalah mempersiapkan sumber daya manusia di masa datang, dan bukan semata-mata sebagai alat untuk membangun pengaruh politik atau alat dakwah dalam arti sempit (Fadjar, 1999: 235). Kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan karena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang mulai memudar, melainkan karena sebahagian besar kurang menjanjikan masa depan dan kurang responsif terhadap tuntutan saat ini maupun saat yang akan datang. Padahal paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial, dan cita-cita (Fadjar: 1999: 235). Bahkan dua pertimbangan terakhir (status sosial dan cita-cita) cenderung lebih dominan.

Dalam realitasnya, potensi pendidikan yang dimiliki oleh umat Islam, baik yang berbentuk madrasah dan sekolah maupun pendidikan tinggi nampak belum menjadi kekuatan aktual. Karena itu, menurut Malik Fadjar (Fadjar, 1999: 237), perlu dilakukan pembenahan dan pengembangan melalui dua pendekatan, yaitu microscopis (tinjauan mikro) dan macroscopic (tujuan makro). Dalam pendekatan yang pertama, pendidikan dianalisis dalam hubungannya dengan kerangka sosial yang lebih luas. Sedangkan dalam pendekatan yang kedua, pendidikan dianalisis sebagai satu kekuatan unit yang hidup dimana terdapat saling interaksi di dalam dirinya.

Oleh karena itu, kalau kita ingin menatap masa depan serta peran pendidikan Islam yang lebih artikulatif di masa datang, maka perlu ada keterbukaan wawasan dan keberanian di dalam memecahkan masalah-masalahnya secara mendasar dan menyeluruh yang berkaitan dengan: pertama, kejelasan antara yang dicita-citakan dengan langkah-langkah operasionalnya; Kedua, pemberdayaan (empowering) kelembagaan yang ada dengan menata kembali sistemnya; Ketiga, perbaikan, pembaruan dan pengembangan dalam sistem pengelolaan dan manajemennya; Keempat, peningkatan sumber daya manusia yang diperlukan (Fadjar, 1999: 237).

Khusus bagi instansi pendidikan tinggi islam (STAIN/IAIN/UIN/PTAI), sudah saatnya melakukan penataan kelembagaan, keluar dari kungkungan bonsai dalam bentuk STAIN/IAIN, sehingga dapat lebih kreatif dalam merespon kehendak dan perubahan sosial masyarakat. Menurut Maftuh Basyuni (2005: 5), upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam bisa jadi dilakukan dengan bentuk dan model yang beraneka ragam.

Akhirnya, penulis berkeyakinan bahwa pendidikan Islam mempunyai potensi untuk menempati leading position, minimal dengan dua modal dasar sebagaimana yang sering diungkapkan Husni Rahim dalam berbagai forum dan tulisan bahwa: pertama, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Mereka ini membutuhkan layanan pendidikan berciri khas Islam mulai jenjang pendidikan Dasar hingga Pendidikan Tinggi. Kedua, kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya pendidikan yang berciri khas Islam mengalami perkembangan yang signifikan.

Kesimpulan

Berdasarkan paparan sebelumnya tentang kondisi pendidikan Islam dan tantangan perubahan serta rekonstruksi yang dapat dilakukan, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun secara jumlah lembaga pendidikan Islam mengalami peningkatan, namun sebagian besar lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara profesional baik dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan pendidikannya. Hal ini menyebabkan lembaga pendidikan Islam belum memiliki daya saing yang tinggi sehingga menuntut adanya rekontruksi lembaga pendidikan Islam.

Pasca lahirnya Undang-Undang SISDIKNAS tahun 2003 yang memberikan landasan yuridis yang kokoh bagi lembaga pendidikan Islam, maka diperlukan rekonstruksi dalam pengembangan lembaga pendidikan Islam. Secara sederhana dibutuhkan rekontruksi, yang dalam hal ini mencakup dua hal: pertama, rekonstruksi atas cara pandang “semua kalangan” (eksekutif, legislatif, politisi, ilmuwan, birokrat, dan sebagainya) tentang pendidikan Islam, dan kedua, memosisikan institusi/lembaga pendidikan Islam secara wajar dalam konteks tatanan/kebijakan pendidikan nasional.

Lembaga pendidikan Islam dengan berbagai aset yang dimilikinya memiliki peluang untuk memberikan layanan pendidikan yang lebih komprehensif jika mampu melahirkan keluaran pendidikan yang memiliki berbagai kompetensi, keterampilan, dan berakhlak mulia.

Daftar Pustaka

Azra, A. (2002). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

_____. (2005). “Kata Pengantar” dalam, Armai Arief. Reformulasi Pendidikan Islam. Jakarta: CRSD Press.

Bakar, U.A. dan Surohim. (2005). Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam: Respon Kreatif terhadap Undang-Undang SISDIKNAS. Yogyakarta: Safiria Insani Pres.

Barizi, A. (ed). (2005). Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar. Jakarta: Rajawali-UIN Malang Press.

Basyuni, M. ”Kampus Masa Depan”, artikel dalam Swara Cendekia, No. 1, tahun 1, 2005.

Fadjar, M. (1999). Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia.

Madjid, N. (2000). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Jakarta: Paramadina.

Masdar, U. (2003). Agama Kolonial: Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal. Yogyakarta: Klik. R.

Mas’ud, A. (2002). Mengggagas Format Pendidikaan Non Dikotomik: Humanismen Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media.

Rahim, H. (2005). Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Suharto, T. (2005). Rekonstruksi dan Modernisasi: Menuju Revitalisasi Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.

Tilaar, H.A.R. (2002). Pertanggungjawaban Manajemen Pendidikan dalam Menghidupi Pedagogik di Indonesia. Jakarta: UNJ-HSAPI.

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar