PELETAK – PELETAK DASAR SOSIOOGI HUKUM

Posted by Unknown on Selasa, 26 Januari 2010

A. DI EROPA
1. DURKHEIM
Dua karya utamanya yang di dalamnya ia membahas masalah-masalah hukum De la division du travail social (1893, terjemahan bahasa inggris 1915) dan “Deux lois de l’evolution penala” (dalam Anne Sociologique, Vol IV, 1900) maka semua karyanya termasuk catatannya yang penting yang diterbitkan dalam Anne Sociologique (yang sepertiganya dikhususkan bagi sosiologi hukum), banyak jasanya dalam menjelaskan dan menerangkan lapangan ini.
Divisiondu TravailSocia ngan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis-jenis hukum. “lambang kesetiakawanan sosial yang tampak (dianggap sebagai suatu kesetiakawanan yang sungguh-sungguh, yakni sebagai suatu bentuk kemasyarakatan) adalah hukum”.
Sosiologi hukum itu harus membedakanantara jenis-jenis hukum. Klasifikasi pertama yang harus dilakukan ialah antara hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan mekanis atau kesetiakawanan karena persamaan, dan hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan organis atau kesetiakawanan karena perbedaan. Hukum yang bersesuaian dengan kesetiakawanan mekanis ialahhukum pidana; yang bersesuaian dengan kesetiakawanan organis ialah hukum keluarga, kontrak dan dagang, hukum prosedur, hukum administratif, dan konstitusionil. Semua hukum yang dapat dirumuskan sebagai peraturan-peraturan dengan sanksi-sanksi terorganisasi adalah berlawanan dengan peraturan-peraturan dengan sanksi-sanksi yang bertebaran (rules with diffused sanctions), yang menjadi ciri khas dari Moralitet. Demikianlah, dua tipe pokok pengaturan hukum, yang paralel dengan dua tipe kesetiakawanan yang berlawanan yang dijelmakan dalam dua jenis sanksi-sanksi yang terorganisasi yang berlain-lainan : hukum yang timbul dari kesetiakawanan mekanis diiringi dengan sanksi-sanksi yang sifatnya mengekang dan hukum yang timbul dari kesetiakawanan organis diiringi oleh sanksi-sanksi yang sifatnya memulihkan.
Sanksi yang sifatnya mengekang (represive) adalah suatu sanksi yang berarti suatu celaan dari masyarakat, suatu penghinaan terhadap kehormatan, baik dalam bentuk hukuman mati, atau hukuman badan, penghapusan kemerdekaan, dan lain-lain atau semata-mata pencelaan di muka umum. Sanksi yang sifatnya memulihkan semata-mata berdiri dari pemulihan benda-benda sediakala, hubungan-hubungan yang terganggu dipulihkan ke dalam keadannya yang normal, baik dengan membatalkannya, yakni menghapuskan segala nilai sosialnya.
Durkheim membedakan hukum kontrak dari hukum yang berada di luar kontrak (hukum rumah tangga, hukum serikat buruh, hukum konstitusionil, dan lain-lainnya). Selanjutnya ia menyatakan bahwa dalam kontrak itu tak semuanya bersifat kontrak dan bahwa sering kerja sama kita yang bersifat sukarela menciptakan kewajiban-kewajiban yang tak kita inginkan, yakni, ada timbul di bawah bentuk kontrak hukum yang diundang-undangkan dari berbagai kelompok-kelompok yang tidak dapat dikembalikan kepada jumlah anggota-anggota atau apa yang semenjak Durkheim dinamakan Actes-Regles (undang-undang yang mengatur) atau “Contracts of Adhesion”.
Sementara itu, ia berpendapat bahwa hukum Restitutif meliputi pula suatu hukum yang semata-mata bersifat negatif, yang sama dengan semata-mata pengingkaran (seperti hukum yang nyata) yang seolah-olah tidak ada persesuaiannya dengan tipe kesetiakawanan yang mana pun juga dan hukum kerja sama positif, yang satu-satunya melambangkan kesetiakawanan organis dan yang terpecah menjadi dua tipe lainnya yang baru tersebut tadi.
Untuk membenarkan tesis ini, Durkheim telah menunjuk kepada sejarah hukum. Ia tetap berpendapat bahwa makin archais suatu masyarakat, makin represif atau mengekang sifat sanksi-sanksinya yang sangat keras dan dahsyat; semakin tinggi tingkat perkembangan suatu masyarakat, semakin ringan hukuman-hukumannya, sehingga pengekangan hampir-hampir sama sekali diganti dengan pemulihan.
Durkheim juga membeda-bedakan tipe masyarakat, antara lain :
 Tipe masyarakat bersahajanya yang berbidang-bidang, yang terbentuk dari clan-clan (horde yang diintegrasikan dengan satuan yang lebih besar) seperti yang terdapat di antara bangsa Australia dan Iroquoi).
 Tipe masyarakat yang berbidang-bidang yang tersusun secara sederhana, yang dalamnya terlebur banyak suku (misalnya konfederasi Iroquoi atau Kabyle).
 Tipe masyarakat yang berbidang-bidang yang tersusun rangkap, seperti kota-kota uni dari konfederasi-konfederasi, suku-suku (misalnya Curiae Romawi); di samping dan berlainan dengan segala tipe masyarakat yang terorganisasi yang tersusun tidak dengan penggabungan bidang-bidang yang sama dan homogen melainkan tersusun menurut sistem kekuasaan.
Dalam masyarakat ini, individu-individu diintegrasikan dalam kelompok-kelompok, bukan oleh hubungan-hubungan berdasarkan keturunan, tetapi oleh sifat khusus aktivitet sosial mereka. Tipe yang keempat ini ternyata yang terluas dan dilihat dari sudut mutunya paling berbeda dari yang lain-lainnya; dalam keseluruhannya, tipe ini bersesuaian dengan setiap masyarakat yang sudah jauh perkembangannya.
Tiap-tiap tipe dari masyarakat yang meliputi segala ini mempunyai struktur keagamaan, hukum dan ekonominya sendiri. Misalnya, totemisme menguasai tipe pertama, agama kesukuan menguasai tipe kedua, agama nasional menguasai tipe ketiga dan untuk sebagian juga tipe keempat, yang kemudian menjadi umum. Sistem hukum dalam tipe pertama bercampur baur dengan tabu-tabu dan kedaulatan terpecah-pecah berhamburan; dalam tipe-tipe hukum kedua dan ketiga untuk sebagian diduniawikan dan diwilayahkan (laicized and territoriallized); akhirnya, dalam tipe keempat, hukum sama sekali terpisah dari agama dan kedaulatan betul-betul dipusatkan dalam satu organisasi.
Haruslah ditambahkan bahwa Durkheim, yang sendirinya tidak puas dengan klasifikasi tipe-tipe sosialnya yang pertama, yang dianggapnya terlalu bersifat kuantitatif dan genetis, membuat beberapa pembetulan yang terpokok dalam I’Anne Seciologique (1910, vol. XI; 1913, vol XII). Di sini ia membedakan :
 Masyarakat-masyarakat yang tersusun dari klan-klan totem (tipe Australia).
 Masyarakat-masyarakat yang dideferensiasikan berdasarkan clan-clan totem yang untuk sebagian berpengaruh (bangsa Indian Amerika Utara; di sini deferensiasinya berupa sistem kelas-kelas yang sedikit banyaknya bercorak agama, orde-orde militer, golongan-golongan paderi, berbagai alat kekuasaan sosial).
 Masyarakat-masyarakat kesukuan dari turunan laki-laki yang dalamnya ada suatu perkembangan kelompok-kelompok sosial (masyarakat-masyarakat desa) dan pemerintahan pusat yang tetap (Negrito, Sudan, Bantu, dan lain-lain).
 Masyarakat-masyarakat nasional (bangsa-bangsa, yang dalamnya terdapat berbagai tipe). Meskipun klasifikasi kedua ini mengutarakan segi kualitatif dari tipe-tipe dan ketaklestariannya (Discontinuity) yang hakiki secara lebih jelas, namun tetap ada saran adanya genesis yang lestari.
Masalah-masalah sosiologi hukum genetis yang sebenarnya (yakni faktor-faktor yang menguasai perubahan hukum) memenuhi perhatian Durkheim dalam dua segi : pertama, faktor morfologis dan khususnya demografis (jumlah kepadatan penduduk) dan kedua, faktor keagamaan atau lebih tepat : pengaruh kepercayaan-kepercayaan akan yang keramat (termasuk di dalamnya pula, menurut Durkheim, Magi lepas dari Agama).
Setelah dengan kemampuan luar biasa mengemukakan masalah hubungan antara bentuk-bentuk kemasyarakatan dan jenis hukum. Durkheim terhalang mencapai hasil-hasil yang definitif karena tiga faktor : klasifikasinya mengenai bentuk-bentuk hubungan sosial terlalu bersahaja; perhubungan yang diciptakannya antara hukum dan paksaan yang terorganisasi sangat diragukan kebenarannya; akhirnya, hukum bukanlah lambang dari segala bentuk hubungan sosial, tetapi hanya dari beberapa bentuk tertentu, yang bersesuaian dengan kondisi-kondisi yang tepat, karena bentuk-bentuk hubungan sosial ternyata dapat seteril dilihat dari sudut hukum.
Sebab terakhir dari kesukaran-kesukaran yang telah diperlihatkan dalam sosiologi Durkheim ialah : terlalu diutamakannya masalah-masalah genetis, terpusatnya perhatian kepada paksaan-paksaan yang terorganisasi, dan tendensi terselubung ke arah monisme sosial dan hukum tentulah terletak dalam keragu-raguannya mengenai isi kerohanian pengalaman hukum. Idealisme keadilan terkadang dianggapnya sebagai proyeksi-proyeksi sederhana dan hasil-hasil dari subjektivitas kolektif, terkadang sebagai isi kandungan sui genetis. Dua konsepsi yang digabungnya, dengan menaikkan kesadaran kolektif ke tingkat roh metafisika. Durkheim dengan jelasnya melihat keharusan, dalam sosiologi hukum, adanya sintesa antara idealisme dan realisme, atau lebih tepat adanya suatu dasar “idealitas realitas”. Tetapi sementara itu ia tidak pernah melepaskan cita atau gagasan untuk menggantikan bahasan sistematis-normatif pola-pola hukum, ia tidak mencapai sintesa yang diinginkan. Dalam bahasn-bahasannya yang kongkrit mengenai sosiologi hukum, realismenya mengenyahkan idealismenya, yang hampir-hampir saja membawa dia kembali kepada konsepsi hukum sebagai suatu epiphenomena sederhana, suatu proyeksi subyektif : itulah sebabnya lebih diutamakan penyelidikan genetis. Dalam konsepsi-konsepsi umumnya, sebaliknya, :hyperspiritualismenya : yang terpendam membawanya kepada juridiksi dan moralisasi segala kenyataan sosial.
2. DUGUIT, LEVY DAN HAURIOU
Tiga peletak dasar sosiologi hukum bangsa Prancis, Leon Duguit (meninggal tahun 1938), Emmanuel Levy dan Maurice Hauriou (meninggal tahun 1930), sampai pada sosiologi hukum bukan dari sosiologi, tetapi dari ilmu hukum. Sedang dua orang tersebut terdahulu dapat dianggap sebagai murid-murid Durkheim, maka yang terakhir ini menganggap sebagai lawannya. Tetapi, Hauriou-lah yang meneruskan mencari sintesa antara realisme dan idealisme sebagai suatu dasar bagi sosiologi hukum. Sebaliknya, Duguit menganggap dirinya “realistis dan bukannya naturalistis” dalam orientasinya, sedang Levy cenderung kepada subjektivismenya yang sangat idealistis.
3. LEON DUGUIT
Ia tidak begitu mengindahkan bahasan sosiologi hukum itu sendiri, melainkan lebih mementingkan penggunaannya dalam ilmu hukum yakni teknis sebagai seni dari sistematisasi hukum yang benar-benar berlaku, khususnya hukum konstitusionil (ef. karyanya Traite deDroit Constitutionnel, edisi pertama, 1908, edisi kedua. 1920-1927). Bersamaan dengannya, ia terus-menerus berbicara tentang “suatu teori hukum sosiologis”. Teori ini hanya dapat mengkompromikan sosiologi hukum, yang tujuannya sangat berlainan dengan filsafat hukum, filsafat hukum dan sama sekali tidak tidak dapat menganggap dirinya sebagai penggantinya.
Dalam berusaha secara kritis menghargai sosiologi hukum Duguit, marilah kita dari awal mencatat bahwa nampak jelas adanya kontradiksi antara bagiannya yang sistematis dan bagian-bagian tipologis serta genetisnya. Memang, pada satu pihak, Duguit menyatakan kedaulatan negara tidak pernah ada dan di lain pihak, bahwa kedaulatan itu sedang dalam proses pelenyapannya di masa kita sekarang ini;pada teempat lain ia mengatakan bahwa otonomi kehendak selalu merupakan suatu khayalan metafisis, dan di tempat lain ia menguraikan betapa otonomi itu lambat-laun dibatasi oleh alat-alat penyelenggara ikatan-ikatan hukum lainnya.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa kecenderungan umum dari penyelidikan Duguit adalah terlalu dogmatis, terlalu diresapi oleh asas realivitas. Di lain pihak, uraian-uraian genetisnya adalah jelas tidak bebas dari suatu prasangka yang tertentu, suatu hasrat untuk membuktikan bahwa evolusi hukum sekarang ini membenarkan premis-premis teoritikusnya, realisme sensualisnya, tiadanya hak-hak sesrta subyek-subyek hukum kenyataan hukum, dan lain-lain.
Jika kita membedakan antara kedaulatan hukum (lebih mengutamakan kerangka hukum yang satu di atas kerangka hukum lainnya) dan kedaulatan politik (monopoli atas paksaan tidak bersyarat), sebagaimana ang dilakukan oleh Duguit, maka kita akan segera sadar bahwa perubahan-perubahan penting dapat terjadi dalam hubungan antara negara dan hukum.
a. Jikalau Duguit berusaha memutar sintesa sosiologis durkheim ke arah suatu realisme naturalistis yang radikal hingga sampai pada sensualisme, maka sebaliknya ‘Emmanuel Levy”, mencoba memberinya orientasi yang semata-mata bersifat subyektif dan idealistis. Buku-bukunya, La’Affirmation du Droit Collectif (1903), dan Les Fondements de Droit (1929), merupakan sosiologi hukum berdasarkan semata-mata atas “kepercayaan-kepercayaan kolektif”.
“Dematerialisasi Hukum" total dari Levy, diartikan sebagai reduksi segala kehidupan hukum menjadi kepercayaan-kepercayaan saja, adalah berupa suatu interpretasi tentang segala lembaga-lembaga hukum di bawah aspek-aspek “kepercayaan, kejujuran, pengharapan”.
Akhirnya, pemusatan perhatian kepada psikologi kolektif semata-mata, atau lebih tepat; kepada psikologi inter-mental, yang melenyapkan segala pertikaian antara berbagai lapisan-lapisan ke dalaman dari kenyataan sosial dan hukum (khususnya, antara superstruktur yang diorganisasi dan infrastruktur-infrastruktur yang spontan) menyebabkan mengabaikan keseibangan-keseimbangan yang kompleks dan bervariasi antara asas-asas penguasaan dan kerja sama. Kesemuanya ini mengacaukan fahamnya tentang perubahan-perubahan hukum, menuju ke arah kemenangan jenis hukum ini. Keragu-raguan serta ketidaktelitian menjadi semakin bertambah, karena tiadanya analisis mikrososiologi sama sekali, padahal analisis ini akan memperlihatkan adanya pertentangan antara massa, perkauman dan komunion.
b. Berlawanan dengan realisme sensuailis dari duguit dan idealisme subyektivistis dari Levy, Maurice Hauriou, seperti Durkheim, berusaha mencari suatu dasar yang “idealistis-realistis” bagi sosiologi hukum. Tetapi, tidak seperti Durkheim, ia dengan tegas membenarkan ketidakmungkinan direduksikannya lagi tingkat nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang mengambil bagian di dalam kehidupan sosial, mengenai akal budi kolektif yang memahami nilai-nilai dan gagasan-gagasan itu. Sebaliknya, menurut Maurice Hauriou, gagasan-gagasan ini memberi perlawanan, dan bertindak sebagai objeknya. “pada hemat saya”, demikian tulisnya, “yang paling penting bagi ilmu sosial ialah melepaskan diri dari filsafat subyektivisme dan berpegang objektifidealisme, meskipun yang demikian ini berarti kembali kepada idealisme Plato”. Menurutnya, titik pertemuan antara sosiologi hukum dan filsafat hukum ialah lembaga dan lembaga inilah yang menjadi pusat perhatian dan usaha-usaha terutama dari Hauriou.
Di antara berbagai karya Hauriou, yang paling langsung berkenaan dengan sosiologi hukum ialah Science Sociale Traditionelle (1896), I’institution et le Droit Statutaire (1906). Principes de Droit Public (cetakan pertama, 1910, cetakan kedua yang mengalami perubahan, 1916), La Souverainete Nationale (1912), La Theorie de I’institution et de la Fondation (1925, dalam Cahiers de la Nouvelle Journee). Karyanya Precis de Droit Connstitutionel (edisi pertama, 1923, edisi kedua, 1928) sebaliknya lebih bersifat teknis.
Lapiasan-lapisan menurut Hauriou adalah sebagai berikut :
 lapisan yang teratas adalah lapisan peraturan-peraturan hukum yang kaku, yangditentukan lebih dahulu oleh prosedur-prosedur teknis pengakuan seperti undang-undang, adat, preseden-preseden, pengadilan, perjanjian-[erjanjian kolektif, dan lain-lain.
 kemudian peraturan-peraturan yang lebih luwes yang dibuat ad hoc untuk perkara-perkara yang kongkrit (peraturan-peraturan yang diadakan oleh “polisi pengadilan” atau hukum kebijaksanaan dan disiplin).
 akhirnya lembaga itu sendiri, yang mewujudkan kenyataan bahwa “semua hukum itu tidak dapat direduksi menjadi peraturan-peraturan hukum”, yang akan tetap khayal sifatnya, seandainya tidak bersandarkan otoritas yang impersonal dan spontan nilai-nilai dalam kenyataan-kenyataan”, khususnya gagasan-gagasan tentang “keadilan dan kedamaian sosial”.
Hauriou membedakan (dan mempertentangkan) dua jenis lembaga : lembaga-lembaga kelompok – badan-badan sosial, dan apa yang dinamakan “thing institutions” atau lembaga perizinan- “yang digunakan untuk berhubungan dengan yang lain-lainnya”. Lembaga-lembaga kelompok adalah “suatu fenomena dari interpenetrasi kesadaran perseorangan, yang dicekam oleh gagasan dan pikiran yang sama, yang (atau lebih tepat memahami) satu sama lain”.
Lembaga perizinan (thing-institution) atau “jurnal Commerce” (transaksi-transaksi), sebagaimana halnya dengan semua lembaga kelompok mewujudkan gagasan-gagasan yang objektif, khususnya gagasan tentang keadilan komutatif. Tetapi berdasarkan fondasi sosiologinya bisa jadi berlainan. Di sini kita hanya memprihatinkan “hubungan-hubungan dengan orang lain”, di luar lembaga kelompok, yakni hubungan-hubungan antara kelompok-kelompok atau perseorangan-perseorangan yang pada asasnya tetap berbeda satu sama lain, yang saling dipisahkan satu sama lain, dan ikatan mereka tidak melebihi perhubungan yang berbeda dari kommunion.
Yang paling dalam lapisannya dan paling primitif sifatnya ialah lembaga-lembaga kelompok, yang perannya sama dengan peranan lapisan granit dalam bumi : yakni kerangka keras yang menyangga lapisan-lapisan yang lebih baru sebagai akibat hubungan-hubungan yang diletakkan dengan yang lain-lainnya pada zaman “Alluvium” sudah barang tentu, kontras antara hukum objektif dan hak-hak tidak terlihat di dalamnya, karena keduanya terjalin dengan hukum perseorangan dan hukum sosial. Selain itu, keseimbangan antara kedua tata tertib hukum yang tersebut terakhir ini (keduanya serentak menyimpulkan pengertian-pengertian hukum objektif dan hak-hak onjektif) adalah goyah dan “berkali-kali dibalikkan dalam sejarah hukum”. Pembalikkan itu sendiri disebabakan oleh adanya berbagai macam hukum sosial, yang dalam pengertian ini tetap mengambil tempat yang terpenting. Ini adalah cara memandang yang sungguh-sungguh bersifat relativistis dan sisologis, yang sayangnya tidak terlalu dipegang teguh oleh Hauriou dalam karya-karyanya yang terakhir.
Akhirnya, setelah meninggalkan konsepsi-konsepsinya yang semula, ia tidak ingin menganggap masyarakat ekonomi en bloc sebagai suatu kelompok-lembaga dan secara a priori manyamakannya dengan “perizinan hukum” (sistem transaksi-transaksi), dan menyatakan secara agak mengejutkan, bahwa “titik beratnya adalah dalam negara borjuis, yang di dalamnya tersimpul kekebalan milik perseorangan dan kebebasan pasar”. Karenanya, bukanlah suatu hal yang mengejutkan, bahwa tipologi hukum kelompok-kelompok bukanlah bagian kuat dari sosiologi hukum Hauriou, yang jasanya terletak dalam analisisnya yang mendalam dari kenyataan hukum, yang mengemukakan “keserbamajemukkan horizontalnya”.
4. MAX WEBER DAN EUGENE EHRLICH
Meskipun sosiologi hukum Max weber (meninggal dunia tahun 1922), yang diutarakannya dalam Bab VII pada bagian ke-2 dari Wirtsschaft und Gesellschaft, telah diterbitkan bertahun-tahun kemudian dari karya-karya sarjana Austria, Eugene Ehrilch (yang meninggal dunia tahun 1923), namun konsepsi-konsepsi Ehrlich bolehlah dianggap sebagai suatu jawaban pendahuluan terhadap kecendrungan Weber untuk membawakan sosiologi hukum kepada sistematisasi ilmu-hukum yang dogmatis konstruktif.
Dalam tiga karyanya yang terutama, Beitrage zur Theorie der Rechtsquellen (1902), Grundlegung der Sozioligie des Rechts (jilid pertama 1913, jilid kedua 1928) dan Die Juristische Logik (1919), Ehrlich menyelenggarakan dua tugas. Pertama, ia hendak menunjukkan bahwa apa yang dinamakan “ilmu hukum” yang diselenggarakan oleh para ahli hukum adalah semata-mata suatu “teknik” yang bersifat relatif dimaksudkan untuk mencapai tujuuan-tujuan praktis dan sementara waktu, dan berkat sistematisasi khayali, tidak mampu memahami apa pun, kecuali kulit yang paling luar dari kenyataan hukum integral dan spontan dalam segala tingkat kedalamannya. Tetapi lebih dari pada Hauriou, puralisme vertikal dari tingkat-tingkat atau lapisan-lapisan bagi Ehrlich akhirnya menghubungkan masalah diferensiasi peraturan hukum semata-mata dengan lapisan-lapisan kedalaman, seolah-olah setiap jenis hukum tidak mempunyai lapisan-lapisannya sendiri yang terletak diatasnya.
Kenyataan bahwa “ilmu” hukum dogmatis-normatif bukanlah suatu ilmu melainkan semata-mata suatu teknik yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan pengadilan yang bersifat temporer, menjadi sangat jelas apabila diketahui bahwa asas-asas yang biasanya dianggap bersumber pada “logika hukum” yang tidak berubah-ubah, sesungguhnya adalah penyesuaian kepada keadaan-keadaan kesejarahan yang sangat kongkrit. Demikianlah tiga “postulat” dari “apa yang dinamakan logika hukum”, yangsesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan logika yang sebenarnya. Yakni : pertama. Pengabaian kebebasan bagi hakim, yang terikat oleh dalil-dalil yang ditetapkan terlebih dahulu. Kedua, tergantungnya segala hukum kepada negara. Ketiga, “kesatuan hukum”, yang disamakan dengan keruntuhan sistematis dari dalil-dalil hukum.
B. DI AMERIKA
Di dalam kata pengantar, kita telah menelaah tingkat-tingkat approach sisologi Amerika dalam upaya memasukkan masalah-masalah sosiologi hukum. Perkembangan ilmu ini di Amerika Serikat adalah berkat usaha ahli-ahli hukum.
1. O.W. HOLMES
Fase persiapannya berkaitan erat dengan nama Hakim Holmes, salah seorang sahabat karib dari fillosof besar Amerika, William James. Dalam bukunya Common Law (1881), dan lagi dalam serangkaian bahsan-bahasannya yang penying (yang terutama sekali ialah The Path of the Law, 1897, dicetak ulang dalam Collect Legal Paper, 1921), Holmes sudah memberi isyarat yang disebut tepatnya oleh Professor Aronson “revolusi sosiologi dalam ilmu hukum” di Amerika. Sambil menolak dengan tegasnya baik mazhab analitis maupun mazhab historis, Holmes menekankan perlunya bagi sarjana hukum untuk yang berkaitan dengan pekerjaannya memberikan perhatian kepada penelaahan-penelaahan yang obyektif dan empiris dari kenyataan sosial yang aktual, sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu-lmu sosial, khususnya sosiologi.
Setelah memperhatikan beberapa kutipan-kutipan adalah menjadi kesangsian mengenai arti yang pasti dari perkataan Holmes : “kehidupan hukum tidak pernah berdasarkan logika, melainkan merupakan pengalaman”, yakni pengalaman yang isinya harus dillukiskan oleh sosiologi hukum. Pengalaman ini bukan hanya melingkupi peristiwa-peristiwa pengalaman data dan bukunya kelakuan saja, tetapi juga lambang-lambang serta arti-arti kerohanian yang mengilhami kelakuan-kelakuan sosial.
Akhirnya, penyamaan hukum dan yurisprudensi, di mana yang tersebut terakhir ini dianggap semata-mata sebagai penggeneralisasian dari yang dikemukakan sebelumnya, menyebabkan tidak adanya kejelasan hubungan-hubungan antara ilmu hukum dan sosiologi hukum, yang mana ia berkecenderungan menyamakan yang satu dengan yang lainnya. Karena mengakibatkan ilmu hukum, sebagai suatu seni, menjadi suatu ilmu deskriptif dalam arti yang sempit, Holmes agak terpaksa merubah ilmu sosiologi menjadi suatu seni, sambil berusaha melenyapkan tujuan-tujuan ilmu hukum yang efektif sebagai seni.
Kesukaran-kesukaran yang terkandung didalamnya, yang sedikit banyak merupakan karakteristik utama dari seluruh perkembangan sosiologi hukum di Amerika Serikat, namun telah menjadi sangat ringan berkat kecermatan yang luar biasa serta keluwesan berfikir Holmes dan khususnya oleh konsepsinya bahwa pengadilan-pengadilan itu sendiri memperlakukan kespontanan hukum dari masyarakat, yang memojokkan dirinya sendiri didalamnya.
2. ROSCOE POUND
Sosiologi hukum di Amerika Serikat telah menemukan ketelitian yang sangat terperinci dan meluas, berkat penemuan ilmiah Roscoe Pound, pakar tiada tandingannya dari mazhab “ilmu hukum sosiologis yurisprudensi. Pikiran Pound dibentuk dari hasil pertentangan secara terus-menerus dari masalah-masalah sosiologis (masalah-masalah pengawassan sosial dan kepentingan sosial), masalah-masalah filsafat (pragmatisme serta teori eksperimental tentang nilai-nilai), masalah-masalah sejarah hukum (berbagai sifat kemantapan dan keluwesan dalam tipe-tipe sistem hukum), dan akhirnya, masalah-masalah sifat pkerjaan pengadilan-pengadilan Amerika (unsur kebijaksanaan administratif dalam proses pengadilan). Banyaknya titik perhatian serta titik tolak membantu Pound untuk memperluas dan memperjelas perspektif-perspektif yang meluas dari sosiologi hukum dan lambat-laun berbagai aspeknya.
Dalam program yang terdahulu bagi ilmu ini (yakni ilmu hukum sosiologis), meskipun pemandangan sangat luas, Pound lebih mengutamakan tujuan-tujuan praktis :
 Menelaah “akibat-akibat sosial yang aktual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum”, dan karenanya, “lebih memandang kepada kerjanya hukum dari pada isi abstraknya”.
 Mengajukan “studi sosiologis berkenaan dengannya studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan”, dan karena itu menganggap, “hukum sebagai lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana guna menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha-usaha sedeikianitu”.
 Untuk menciptakan “efektifitas studi tentang cara-cara membuat peraturan-peraturan” dan memberi tekanan kepada “tujuan-tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum dan bukannya kepada sanksi”.
 Studi “sejarah hukum sosiologis”, yakni tentang “akibat sosial yang telah dihasilkan oleh doktrin-doktrin hukum dan bagaimana cara menghasilkannya”.
 “Membela apa yang telah dinamakan pelaksanaan hukum secara adil” dan “mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus dianggap sebagai petunjuk-petunjuk ke arah hasil-hasil yang adil bagi masyarakat dan bukannya terutama sekali sebagai bentuk-bentuk yang tidak dapat berubah”.
 “Akhirnya, tujuan yang hendak dicapai oleh apa yang tersebut di atas ialah agar lebih efektifnya usaha untuk mencapai maksud-maksud serta tujuan-tujuan hukum”. (baca “The Scope and Purpose of the Sociological yurisprudensi”, Harvard Law Review, 1912, vol. 25, hal. 513-16).
Berbagai interprestasi dari sejarah (yang bersifat etika keagamaan, etologis, ekonomis, pragmatis, dan lain-lain) dengann sendirinya telah ditetapkan oleh situasi-situasi kongkrit yang dari suatu tipe masyarakat (Interpretations of Legal History, passim). Perubahan-perubahan sistem hukum kita yang aktual adalah sebagai berikut :
1. Pembatasan-pembatasan dari penggunaan kekayaan.
2. Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan perjanjian-perjanjian.
3. Pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan memiliki kekayaan.
4. Pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan creditor atau pihak yang dirugikan untuk menjamin kepuasannya.
5. Perubahan cita atau gagasan tentang pertanggungjawaban dalam arti adnya dasar yang lebih obyektif.
6. Keputsan-keputusan pengadilan mengenai kepentingan-kepentingan masyarakat, dengan membatasi peraturan-peraturan umum untk lebih mengutamakan pedoman-pedoman luwes dan kebijaksanaan,.
7. Dana-dana umum hendaknya diadakan untuk mengganti kerugian kepada individu-individu yang dirugikan oleh alat-alat kekuasaan negara.
8. Perlindungan kepada anggota-anggota rumah tangga yang hidupnya masih bergantung pada keluarga.
Semua perubahan ini adalah “jalan ke arah sosialisasi hukum yang aktual”. (The Spirit of the Common Law, hal. 185-92).
Dalam serangkaian karya-karyanya, yang terbit kemudian, Poun telah menandaskan dengan keberanian yang luar biasa pada kenyataan sosial, khususnya kenyataan sosial dari hukum,telah diresapi oleh “unsur-unsur yang diidam-idamkan”, “nilai-nilai kerohanian”. Demikianlah, sosiologi hukum baginya tidak mungkin terkecuali sebagai satu bagian dari apa yang kita usulkan agar dinamakan sosiologi jiwa manusia atau akal budi intelektual (sociology of the noetic mind). Karena menurut Pound, dalam kenyataan sosial dari hukum ada tergabung “kegunaan sosial” dan “unsur-unsur yang diidam-idamkan”, “kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan penertiban-penertiban sosial” serta nilai-nilai kerohanian, maka ia bersama dengan Hauriou sampai kepada suatu konsepsi hukum yang bersifat ideal-realistis. Suatu sintesa antara idealisme dan pragmatisme disini telah menolong dan membimbingnya melihat nilai-nilai huhkum dalam pengkhususannya yang konkret dan hubungan-hubungan fungsionalnya dengan struktur-struktur dan situasi-situasi sosial.
3. BENJAMIN CARDOZO
Seperti halnya dengan sosiologi hukum Holmes dan Pound, maka sosiologi hukum Hakim Cardozo ini bertolak dari perenungan tentang perlunya memperbaharui teknik hukum yang aktual dengan menutup jurang antara teknik hukum itu dan kenyataan hukum yang hidup dewasa ini. Seperti mereka bahkan lebih-lebih lagi, perhatiannya pertama-tama dipusatkan kepada aktifitas pengadilan-pengadilan. Karya pertamanya yang diberi judul The Nature of Judikal Proces yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa “ketidaktepatan yang semakin bertambah oleh keputusan-keputusan” adalah suatu manifestasi yang tidak dapat dicegah dari kenyataan bahwa proses pengadilan”bukanlah penemuan, melainkan penciptaan”, penciptaan yang diperhebat oleh situasi sesungguhnya dari kehidupan hukum. Situasi ini terdiri atas kenyataan “bahwa untuk setiap tendensi kelihatannya orang harus mencari tendensi lawan, dan bagi setiap peraturan harus dicarikan lawannya pula”. Lawan-lawan (anti nomies) ini dihadapkan pada pengadilan-pengadilan, bukan saja karena jurang-jurang serta kekosongan-kekosongan dalam peraturan-peraturan hukum, bukan saja karena kenyataan”bahwa hanya sedikit peraturan, yang ada terutama hanyalah postulat-postulat, pedoman-pedoman dan derajat-derajat”, tetapi juga karena sengketa spontanitas antara peraturan-peraturan dalam masyarakat itu sendiri.
Meskipun demikian, Cardozo tidaklah mau mengikuti yang dicontohkan Duguit,Krabbe dan Ehrlich dan untuk memasukkan kenyataan sosial yang terdalam hukum itu sendiri. Sambil mengecam penul.is-penulis tersebut, ia menyatakan lagi bahwa”adat kebiasaan” hanya menjadi hukum jika mendapat sanksi atau mampu mengadakan sanksi demi pengadilan-pengadilan. Ia bersandar bahwa definisi Holmes tentang hukum sebagai suatu”ramalan tentang apa yang dilakukan oleh pengadilan”. Tetapi supaya tidak terlampau membatasi lapangan bahasan atau studi sosiologi hukum, ia memberi suatu interpretasi yang luas terhadap konsep ini.
Buku terakhir Cardozo, Paradoxes of Legal Sciences(1928) yang paling berkesan dari antara karya-karyanya, maju selangkah lagi ke arah sosilogi hukum yang bebas dari teknik yuridis (yurisprudensi) dan yang bertugas sebagai satu dasarnya. Sosiologi hukum haruslah dibimbing oleh kesadaran,demikian tulis Cardozo dalam bukunya ini, bahwa “hukum menentukan suatu hubungan tidak selalu antara titik-titik yang berlainan kedudukannya.
Realis Hukum dan Selanjutnya
K. M. Lewelyn dan Thurman Arnold. Mazhab neo realistis yang berkembang selama sepuluh tahun yang terakhir ini merup[akan suatu reaksi yang sengit terhadap orientasi “sociologikal yurisprudence” yang bersifat terutama sekali teleologis dan moralistis. Para sosiolog berusaha untuk menghpuskan pertimbangan-pertimbangan teleologis dan penilaian-penilaian baik buruk, bukan saja dari sosiologi hukum melainkan juga dari ilmu hukum sendiri. Mengenai kesimpulan-kesimpulan positifnya, yang pada umumnya tetap fragmentaris, terdapat perbedaan-perbedaan besar,”realis-realis” itu. Pada dasarnya, hanya sangat berbeda satu sama lain, mempunyai hubungan langsung dengan masaslah-masalah sosiologi hukum yang sesungguhnya. Hanya mereka yang perlu kita perhatikan, tetapi karena orientasi terakhir dari karya-karya mereka nampaknya melampaui “realisme hukum”, maka kita mulai saja dengan menyifatkan dengan beberapa titik gertolak mereka, setidak-tidaknya sama bagi semua juru bicara pada permulaan diskusi.
Para “realis-realis hukum” (legal realis) itu semua memulai dengan interpretasi yang sangat sempit dan sungguh-sungguh buruk dari definisi hukum Holmes, yakni hukum sebagai”ramalan tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan”. Sambil menghapuskan dari pertimbangan mereka peraturan, asa, pedoman, nilai-nilai, pendapat-pendapat para hakim dan akhirnya hukum yang dipaksakan kepada pengadilan-pengadilan secara langsung atau tidak langsung, para realis ini secara primitif mereduksikan hukum menjadi putusan-putrusan para hakim semata-mata, atau lebih tepat kelakuan-kelakuan para hakim. Demikianlah, maka Lewelyn menulis dalam karyanya yang pertama: Apa yang diperbincangkan oleh para pembesar (hakim-hakim atau polisi-polisi atau klerk-klerk atau sipir-sipir atau ahli-ahli hukum) menurut pendapatnya adalah hukum itu sendiri”.









PELETAK – PELETAK DASAR SOSIOOGI HUKUM

Tugas ini disusun guna memenuhi nilai UAS Smester V
mata pelajaran Sosiologi Hukum



















Dosen Pembimbing :
Bpk. H. Ainur Rosyid, SH


Dirangkum Oleh :
Hikmatul Umam
NIM: 07.3394




FAK. SYARI’AH JUR. AKHWAL AL – SYAKHSIYYAH
INSTITUT KEISLAMAN HASYIM ASY’ARI TEBUIRENG JOMBANG
TAHUN AJARAN 2010

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar