ETIKOLEGAL
“Artikel Bidan Berprestasi dan Bidan Yang
Melanggar Kode Etik”
Oleh:
Iddya Nurcahyati
NIM:120703019
Pembimbing:
Septi Fitrah,sst
STIKES PEMKAB JOMBANG
Eny Rahmawati Bidan Berprestasi
DEMAK- Enam bidan di Kabupaten Demak mendapat penghargaan,
karena dinilai terbaik dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Penghargaan diserahkan Bupati Drs H Tafta Zani MM dalam upacara Hari Kesehatan
Nasional (HKN) Ke-45 di halaman RSD Sunan Kalijaga, kemarin. Hadir pula Wakil
Bupati Drs HM Asyiq, Kepala Dinas Kesehatan dokter H Singgih Setyono MMR. Bidan
berprestasi juga terbukti mampu mendorong kesadaran masyarakat untuk
berperilaku hidup bersih dan sehat.
Sebagai
bidan prestasi utama adalah Eny Rahmawati yang bertugas di Desa Buko Wedung.
Dia ditetapkan sebagai bidan terbaik tahun 2009 setelah menyisihkan ratusan
bidan lain dalam penilaian bidan terbaik yang dilakukan Dinas Kesehatan
Kabupaten (DKK) Demak.
Bersama Eny Rahmawati, sejumlah
bidan lain juga menerima penghargaan. Bidan terbaik kedua Deny Rahmawati dari
Desa Bonangrejo, Kecamatan Bonang, kemudian Dwi Admiyarsih, bidan Desa
Kedungori, Dempet sebagai bidan terbaik ketiga. Sedangkan untuk kategori bidan
koordinator terbaik adalah Sri Wuryani AM Keb dari Puskesmas Bonang I, Aidi
Zulaikhah AM Keb (Puskesmas Wedung I), dan Setyarni AM Keb (Puskesmas Demak
III). Sementara petugas gizi teladan diraih Muhimah dari Puskesmas Kebonagung.
Selain
itu, juga diserahkan penghargaan berbagai lomba yang telah dilaksanakan
sebelumnya. Kepala Dinas Kesehatan dokter Singgih Setyono mengatakan, prestasi
tersebut hendaknya memacu bidan lain untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
lebih baik lagi. Menurutnya, di setiap desa memiliki persoalan berbeda,
sehingga memerlukan kreativitas bidan agar masyarakat di lingkungannya sadar
akan pentingnya menjaga kesehatan dengan hidup bersih.
Kepada bidan berprestasi,
pihaknya meminta agar terus meningkatkan pelayanan. Humas Dinkes Demak Guvrin
Heru Putranto mengatakan, HKN diperingati untuk lebih memotivasi masyarakat
agar selalu berperilaku hidup sehat dan mampu mewujudkan lingkungan yang bersih
dan sehat.
’’Kesehatan
harus diawali dari diri yang sehat dan lingkungan sehat. Untuk itu, pengetahuan
tentang kesehatan juga harus dimiliki oleh semua lapisan masyarakat.’’ (H1-37)
(/)
Eulis Rosmiati,20 Tahun Menjadi Bidan Di Desa Sangat Terpencil Dan
Tertinggal
Menjadi bidan di
desa yang sangat terpencil di Jawa Barat, bagi Eulis Rosmiati, dianggap sebagai
pengabdian. Hingga kini, 20 tahun sudah dia mengabdi. Masyarakat desa itu yang
semula berpola hidup sangat tradisional sedikit demi sedikit berhasil diubah
menjadi lebih maju. Jumat lalu (15/7), Eulis menerima penghargaan sebagai bidan
teladan.
SENYUM ramah
terpancar di wajah Eulis. Dengan logat Sunda yang kental, dia menyambut ramah
kedatangan Jawa Pos yang menemuinya di sebuah rumah makan di kawasan SCBD,
Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu (14/7).
Sehari-hari, Eulis
bekerja sebagai bidan di Desa Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Hari itu,
dia berada di Jakarta karena menerima penghargaan sebagai bidan teladan.
Dengan senyum
mengembang, Eulis mengungkapkan bahwa dirinya sangat gembira menerima
penghargaan tersebut. "Gara-gara saya dapat penghargaan ini, Pak Gubernur
(Gubernur Jabar Ahmad Heryawan) akhirnya berkunjung ke desa kami," kata
perempuan 41 tahun tersebut.
Tidak hanya itu,
ketika berkunjung ke desa tersebut, gubernur sempat menjanjikan kepada Eulis
untuk segera membangun puskesmas. Begitu menyebut puskesmas, dua mata Eulis
terlihat berkaca-kaca. Tak lama berselang, air matanya jatuh membasahi pipi.
"Saya sangat senang. Sebab, sampai sekarang, desa kami tidak punya
puskesmas," ungkapnya dengan suara bergetar lantas terisak.
Pendirian puskesmas
memang menjadi dambaan Eulis. Sebab, selama ini, penanganan kesehatan warga di
desa itu hanya bisa dilakukan seadanya di pondok kesehatan desa (poskesdes).
Maklum, jarak puskesmas terdekat dari desa tersebut mencapai 30 km. Ongkos
sekali jalan saat siang mencapai Rp 50 ribu dan naik 100 persen saat malam.
Ujung Genteng
adalah sebuah desa di Sukabumi yang dihuni 4.438 penduduk dengan 1.251 KK
(kepala keluarga). Potret sebagai desa tertinggal terlihat pada jumlah keluarga
prasejahtera yang mencapai separonya. Sisanya termasuk dalam keluarga sejahtera
1 (mudah jatuh miskin).
Menurut Eulis, sangat
sulit menuju Desa Ujung Genteng. Sebab, tidak banyak kendaraan umum yang
tersedia. Selain itu, kondisi jalan masih sangat parah karena berlubang-lubang
dan berkelok-kelok. Dari Kota Sukabumi, sedikitnya butuh lima jam perjalanan
dengan mobil untuk menuju desa itu.
"Ketika
awal-awal bertugas di desa itu pada 1991, saya sempat gundah," ceritanya.
"Minimnya sarana dan infrastruktur serta sulitnya medan yang harus saya
tempuh sempat membuat saya hampir menyerah," lanjutnya. Namun, kondisi
yang sulit tersebut justru memacu semangatnya.
Yang menjadi cambuk
bagi Eulis kala itu, di desa tersebut tidak ada lagi bidan. Sulitnya medan juga
membuat dia yakin bahwa warga sangat mengandalkan kehadiran dirinya. Harapan
tinggi wargalah yang akhirnya membuat lulusan sekolah bidan di Bandung tersebut
bertekad untuk bisa berbuat sesuatu.
Dia mulai
mempelajari karakteristik warga. Mulai pola menjaga kesehatan, budaya dalam
persalinan, hingga penanganan dalam keadaan darurat. "Ternyata, semua
masih dilakukan secara tradisional dengan sedikit klenik," jelasnya.
Dia lantas
mencontohkan masalah persalinan. Setiap ibu yang akan bersalin (melahirkan)
selalu dibawa ke dapur. Tak cukup itu, si ibu harus berada di kolong tempat
tidur. Di kolong sempit itulah sang ibu berjuang melahirkan bayi bersama dukun.
"Menurut keyakinan mereka, ibu melahirkan itu kotor. Karena itu, harus
dibawa ke dapur," tuturnya.
Tidak hanya itu,
jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dan jaminan persalinan (jampersal)
hampir tidak berarti bagi warga Desa Ujung Genteng. Semua itu percuma. Sebab,
untuk menuju rumah sakit terdekat, yakni RS Jampang, jaraknya mencapai 60 km
dari Desa Ujung Genteng. Sebelum RS tersebut didirikan sekitar 2004, warga
Ujung Genteng harus menuju wilayah Sekar Wangi, Sukabumi, dengan jarak 160 km.?
Yang membuat Eulis
geregetan, warga desa sering ditolak masuk RS karena pasien sudah membeludak.
Karena tanggung untuk balik ke desa, akhirnya mereka terpaksa mencari RS lain.
Ibu tiga anak itu pernah menangani kasus persalinan dan terpaksa membawa ke
Bogor hanya untuk berobat. "Transpornya saja sudah habis Rp 1 juta,"
ungkapnya.
Akhirnya, dia
berpikir agar warga desa bisa mandiri. Saat panas-panasnya reformasi 1998,
Eulis mulai menjalankan strateginya memberdayakan warga desa. Dia mulai membentuk
kelompok arisan WC. Tujuannya, meningkatkan jumlah WC di setiap RT. Maklum,
saat itu, sangat sedikit warga yang mempunyai WC di rumahnya. "Harapan
saya, kesehatan warga bisa membaik," terangnya.
Cara arisan WC itu,
warga saling memberikan subsidi silang untuk membuat WC. Dari program tersebut,
jumlah WC di tiap-tiap RT meningkat. Kalau sebelumnya hanya 500 orang yang
punya WC, sekarang sudah tinggal 100-an rumah yang tanpa WC. Eulis mengklaim,
warga saat ini lebih bersih dan kesehatannya juga meningkat.
Selain itu, dia
menciptakan program arisan sebagai dana cadangan kalau ada keperluan pengobatan
dan biaya persalinan. Agar warga mau bergabung, program tersebut diberi nama
unik: "Seliber".?Singkatan dari seliter beras. Yakni, program
pengumpulan beras bagi para warga yang bekerja sebagai petani dengan cara
mengumpulkan dua sendok beras setiap hari.
Dari program
tersebut, dalam sebulan, setiap petani mempunyai 60 sendok beras yang setara
dengan seliter beras. Beras dari seluruh petani itu dikumpulkan dan dijual
kepada tengkulak. Hasilnya, uang tersebut dijadikan dana simpanan untuk keadaan
darurat. "Gampangnya, petani yang butuh uang untuk berobat tinggal
mengajukan," jelasnya.
Bagi para nelayan,
ada pula arisannya, yakni Meronce Kasih. Polanya sama seperti arisan seliber.
Bedanya, pada arisan Meronce Kasih, nelayan mengumpulkan sekilo ikan dengan
kualitas paling rendah setiap pergi melaut. Pola yang sama diberlakukan bagi
penyadap gula aren dengan mengumpulkan 2 kg aren per bulan.
Para penambang
pasir juga memiliki arisannya, yakni diberi nama Limaribu Kasih. Caranya,
mengumpulkan Rp 5.000 setiap bulan. Tidak hanya itu, Eulis juga menciptakan
jaminan asuransi kesehatan yang disebut Askes Lembur. Itu merupakan asuransi
kesehatan yang hanya berlaku di lembur (sebutan kampung, Red). "Semua
untuk dana darurat kesehatan," paparnya.
Kemudian, dia
menggagas rumah singgah. Yakni, pemberdayaan rumah warga sebagai tempat
persalinan yang layak untuk ibu bersalin. Gagasan rumah singgah itu muncul
karena pengalaman Eulis mengantarkan seorang ibu bersalin ke puskesmas terdekat
saat malam dan hujan. "Medan yang berat membuat mobil terperosok di salah
satu ruas jalan," kenangnya.
Dia lantas berjalan
kembali ke desa dan membangunkan hampir seluruh warga RT untuk membantu
membebaskan mobil yang terjebak di lumpur selama hampir sejam itu. Tidak mau
kejadian tersebut terulang, dia lantas bernegosiasi dengan warga untuk
menyediakan rumah mereka sebagai rumah singgah.
Warga yang memiliki
rumah di tengah jalan dirayu agar mau menyediakan satu kamar untuk persalinan.
Tidak mudah memang. Dengan berbagai alasan, akhirnya ada juga warga yang
bersedia. Rumah singgah tersebut kemudian dilengkapi perlengkapan persalinan.
"Ruangannya harus bersih, steril dan nyaman untuk persalinan,"
tambahnya.
Eulis juga rutin
mengadakan Tabulin (Tabungan Ibu Bersalin) yang berarti persiapan dana saat
melahirkan. Setiap hari, para ibu diminta mengumpulkan Rp 1.000. Uang tersebut
nanti diberikan kepada ibu yang melahirkan lebih dulu.
Untuk menghilangkan
batas antara wilayahnya dan daerah lain, dia menggugah warga untuk mendukung
program ambulans desa. Namun, bukan patungan untuk membeli ambulans. Warga yang
memiliki kendaraan seperti mobil, motor, atau kendaraan apa pun dimintai
komitmen untuk membantu warga. "Digunakan oleh warga yang memerlukan kapan
pun," tegasnya.
Saat ini, warga
Desa Ujung Genteng telah merasakan manfaat pemikiran Eulis. Kegigihan Eulis
membuat dirinya dinobatkan sebagai bidan teladan. Saat ini, dia masih menjadi
satu-satunya bidan di desa tersebut.
Dia berharap gubernur tidak mengingkari
janjinya untuk membangun puskesmas.
komentar:
Bidan Berprestasi Terima
Penghargaan dari Presiden
Bukan hanya Wahyu Eko Asmoro Widodo
petani prestasi akan menerima penghargaan dari Presiden RI Prof Dr.Susilo
Bambang Yudhoyono. Salah seorang bidan di kabupaten PPU bernama Siti Nurhafiah
yang bertugas sebagai tenaga perawat dan bidan di Polindes Kelurahan Nenang
Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) juga akan menerima penghargaan dari
Presiden.
Bertandang keruang humas pemkab PPU,
Rabu (10/8), Siti Nurhafiah didampingi pimpinan puskesmas Penajam Ahmad
menjelaskan kronologis terpilihnya dirinya sebagai tenaga kesehatan teladan
tahun 2011 mewakili kaltim menerima penghargaan yang direncanakan diterima
diistana Negara “ rencananya kami akan berangkat keJakarta tanggal 14/8 nanti”
kata Siti Nurhafiah
Dikatakannya, dengan dipilihnya
dirinya mewakili bidan dikaltim sebagai tenaga kesehatan teladan, merupakan
kebanggaan dan menjadi motivasi kepada bidan lain untuk lebih memberikan
pelayanan dengan baik kepada warga
Siti menjelaskan keberhasilan
tersebut tidak diterima tampa perjuangan yang tinggi, karena sejak diangkat
menjadi tenaga bidan 17 tahun perjuangan banyak dilalui, dan selama menjadi
bidang di polindes Nenang, selain kelengkapan administrasi, dirinya juga
aktig dalam setiap kegiatan dimasyarakat, serta memberikan pelayanan secara
maksimal kepada seluruh warga,” sebagai tugas kami, harus memberikan palayanan
kepada warga terutama kepada ibu bersalin, dan seluruh pelayanan kami kerahkan
untuk keselamatan ibu dan anak” katanya
Sementara kepala puskesmas Penajam
Ahmad mengatakan, dengan keberhasilan salah satu anggotanya mewakili kaltim,
menjadikan sebagai motivasi dan dorongan agar pada tahun depan prestasi
tersebut dapat dipertahankanSelain itu, Ahmad yang memimpin delapan puskesmas
pembantu (pusban) dan delapan polindes pada Sembilan kelurahan serta
didukung 24 orang bidan, marasa bangga atas prestasi tersebut
Ahmad menambahkan, berdasarkan surat
dari dinas kesehatan Provinsi Kaltim nomor 440/3502/Yankes/VI/2011 tanggal 27
Juni tentang Penetapan tenaga kesehatan teladan puskesmas tahun 2011,
menetapkan bahwa nama –nama tenaga kesehatan teladan antara lain, Drg Ida
Higyawati dari Puskesmas Sumber Rejo Balikapapan, Siti Nurhafiah,Amd dari
Polindes Nenang Kecamatan Penajam, Suriami SKM dari Puskesmas Muara Badak Kutai
Kartanegara dan Agus Prihantoyo tenaga gizi asal kota Puskesmas Suber rejo
Balikpapan
Sementara ketua Ikatan Bidan
Indosesia (IBI)Hj Aminah saat di konformasi mengatakan dengan keberhasilan
salah satu anggota IBI mewakili Kaltim yang menerima penghargaan dari presiden
tanggal 17 agustus nanti merupakan hadiah istimewa hut IBI di PPU.
Untuk mendukung kegiatan dan etos
kerja bagi anggota Ibi, Hj Aminah menjelaskan sebelum HUT ibu diksanakan
beberapa waktu lalu, dirinya bersama seluruh anggota ibi melakukan audensi
dengan Bupati penajam Paser Utara H.Andi Harahap, diruang kerjanya.
Melalui Hj Aminah, Bupati
menyampaikan kepada anggota ini akan memberikan penghargaan kepada bidan
berperestasi” waktu kami audensi dengan bapak bupati pada acara HUT IBI
lalu, beliau (bupati) menyampaikan akan memberikan hadiah kepada bidan yang
mengharumkan nama daerah” Jelas Amina ( Humas 7/ Sumardi)
Merubah Adat di Tepian Batanghari
Nama
: Bidan Meiriyastuti
Usia
: 32 tahun
Bidan
: Sejak tahun 1998
Lokasi
: Desa Teriti, Kecamatan Sumay,
Kabupaten Tebo,
Propinsi Jambi
Penghargaan
: tenaga kesehatan teladan
puskesmas tingkat nasional
2011 (dari menkes)
Bidan Meriyastuti adalah seorang
bidan muda yang mendedikasikan dirinya untuk perbaikan status kesehatan ibu dan
anak di Desa teriti, tepian Sungai Batang Hari. Desa Teriti merupakan desa
terpencil berpenduduk sekitar 932 Jiwa yang sebagian besar bermata pencaharian
sebagai petani. Desa ini dapat ditempuh selama enam jam perjalanan darat dari
kota Jambi melalui Sungai Batanghari. Diawal pengabdiannya, Bidan Meiriyastuti
merasakan kesulitan untuk dapat diterima oleh adat masyarakat.
Terkait masalah kesehatan misalnya,
banyak orang tidak mau menuruti anjurannya karena mereka lebih percaya kepada
dukun. Begitupula untuk urusan persalinan, hampir semua masyakarat di Desa
Teriti masih mempercayakan penanganan kelahiran kepada nyai dukun dengan
penanganan partus yang salah dan ritual adat pasca kelahiran yang merugikan
kesehatan ibu dan bayi.
Bidan Meriyastuti menerjang sungai Batanghari demi tugas.Salah satunya adalah pantangan makan makanan bergizi bagi
ibu nifas. Menurut adat, selama 40 hari pasca melahirkan ibu hanya
diperbolehkan mengkonsumsi nasi putih dan kecap asin dengan alasan dilarang
oleh dukun karena akan mendatangkan sakit pada bayi yang mereka susui apabila
mereka makan sayuran dan ikan. Kebiasaan ini berakibat kurang baik bagi
kesehatan ibu dan bayi karena dapat menimbulkan kekurangan nutrisi.Selain itu,
terdapat pula ritual Nyebur ke Ayek, dimana 7 hari setelah dilahirkan, bayi
akan dimandikan dengan air kembang di sungai Batang Hari yang dingin. Menurut
adat, hal ini perlu dilakukan untuk memperkenalkan anak ke dunia luar tempatnya
hidup nanti. Padahal hal ini bisa membahayakan keselamatan bayi. Pernah suatu
ketika seorang bayi prematur meninggal karena hipotermia karena dimandikan di
sungai yang dingin.
Agar
dapat diterima oleh masyarakat, Bidan Meiriyastuti berusaha melakukan
pendekatan dengan mencari keluarga angkat, mendekati perangkat desa, membentuk
kader-kader terpercaya serta merangkul dukun-dukun setempat. Ia bahkan menikahi
seorang pemuda dari desa setempat. Butuh waktu 11 tahun bagi bidan untuk
mendapatkan kepercayaan dari nyai dukun yang kini telah bermitra dengannya.
Berkat pendekatan dari bidan yang tak kenal lelah, ritual Nyebur Ke Ayek kini
telah dimodifikasi dengan cara yang lebih aman bagi bayi. Tanpa mengurangi
penghormatan kepada adat istiadat, Nyebur ke Ayek kini tetap dilakukan dengan
menggunakan airhangat dan bayi dimandikan di dalam air kembang di dalam baskom
di halaman rumah. Seluruh proses kelahiran di desa Teritik ini dilakukan
bersama-sama oleh bidan dan nyai dukun.
Memadam Api di Batas Negeri
Nama
: Bidan Rosalinda
Delin
Bidan
: Sejak 1991
Lokasi
: Desa Jenilu, Kec.
Kakuluk Atapupu, Kabupaten Belu,
Nusa Tenggara Timur
Penghargaan
: tenaga kesehatan terbaik NTT 2000
Bidan Rosalinda Delin bertugas di
Desa Jenilu, Kecamatan Kakuluk, Atapupu adalah sebuah perkampungan nelayan di
Kabupaten Belu, NTT. Desa ini hanya berjarak 12 kilometer dari perbatasan Timor
Leste dan terdapat banyak eks pengungsi yang masih tinggal di daerah tersebut
dengan kondisi yang cukup memprihatinkan.
Di desa ini terdapat budaya Panggang
Api pasca-persalinan yang telah diwariskan secara turun-temurun sejak jaman
nenek moyang. Seusai melahirkan, ibu dan bayinya dibaringkan sambil dipanasi
bara api yang menyala dari kolong tempat tidur selama 40 hari. Menurut
orangtua, kebiasaan ini ditujukan untuk menghangatkan badan ibu dan bayi.
Bidan Rosalinda tergerak untuk menghapuskan budaya panggang api di
wilayahnya dengan memberikan sosialisasi ke rumah - rumah.Meskipun bertujuan baik, budaya Panggang Api mempunyai beberapa efek
negative bagi kesehatan ibu maupun bayi. Ibu melahirkan yang melakukan panggang
api akan terlihat pucat karena anemia dan mengeluarkan banyak keringat.
Sementara bayi yang baru dilahirkannya sangat rentan terkena gangguan
pernapasan atau pneumonia.
Melihat
permasalahan ini, Rosalinda Delin, bidan desa yang bertugas di Puskesmas
Atapupu- Belu merasa terpanggil untuk menghilangkan kebiasaan Panggang Api di
wilayahnya. Ia melakukan kunjungan kesetiap rumah ibu yang baru melahirkan
dengan memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahaya kebiasaan panggang
api ini.Tidak hanya mendatangi rumah, Ibu Rosalinda Delin juga memberikan
pengarahan kepada segenap anggota keluarga ibu melahirkan. Mereka dikumpulkan
di suatu tempat untuk memanggang ikan bersama-sama.
Dengana
cara bakar ikan seperti ini, bidan berusaha menganalogikan tubuh manusia yang
dipanggang api dengan seekor ikan yang dibakar. Apabila dipanaskan terus ikan
akan kering dan kehabisan darah, begitu pula tubuh manusia. Berkat usaha Ibu
Rosinda Delin, saat ini sudah tidak adalagi ibu melahirkan di Desa Jenilu yang
melakukan budaya Panggang Api.
Komentar:
Melebur Adat di Bumi Mandar
Nama
:
Bidan Sri
Ariati
:
Bidan
:
sejak tahun1973
Lokasi
:
Kab Majene
Bidan Sri Ariati mengabdi di
kelurahan Banggae, kabupaten Majene; Sulawesi Barat sejak tahun 1980. Bidan
berdarah Jawa ini telah banyak melakukan perubahan demi kebaikan masyarakat
Majene, bahkan hingga di masa pensiunnya saat ini.
Kabupaten Majene terletak sekitar
enam jam perjalanan darat dari kota Makassar. Pada tahun 2010 tercatat jumlah
penduduk Kabupaten Majene adalah sebanyak 150.939 jiwa, dengan jumlah penduduk
terbanyak berada di Kecamatan Banggae dan Kecamatan Banggae Timur.
Awal masa tugasnya di Majene, bidan
Sri Ariati menemui kendala perbedaan bahasa. Masyarakat Majene umumnya menggunakan
bahasa Mandar sebagai bahasa ibu. Permasalahan bertambah lagi dengan banyaknya
dukun bersalin atau yang biasa disebut ”sando”. Jumlah sando di Kabupaten
Majene sebanyak 172 orang, sedang jumlah bidan hanya 95 orang.
Di wilayah kerjanya sendiri terdapat
18 orang sando.Selain menolong persalinan, para sando juga menganjurkan setiap ibu yang
baru melahirkan untuk mengangkat air dari sumur ke rumah. Kebiasaan ini sudah
menjadi tradisi turun-menurun di Kabupaten Majene. Hal ini cukup membahayakan,
bahkan pernah ada kasus seorang ibu yang pingsan sehabis melakukan tradisi
angkat air karena kelelahan karena ia juga harus menyusui bayi kembarnya.
Untuk dapat melakukan perubahan di
masyarakat, langkah yang pertama dilakukan oleh bidan Sri Ariati adalah
berusaha mendekati para sando untuk diajak bermitra karena setiap ibu di sana
memiliki sando kepercayaannya sendiri-sendiri. Namun hal ini bukanlah hal yang
mudah, karena para sando umumnya hanya bisa berkomunikasi menggunakan bahasa
mandar. Untuk itu bidan Sri Ariati mulai mempelajari bahasa Mandar secara
perlahan-lahan.
Saat bidan Sri Ariati mulai
bisa sedikit bahasa Mandar, ia lebih mudah berkomunikasi dengan sando dan
masyarakat secara umum. Ia terus mengunjungi satu persatu rumah sando untuk
menjalin kerjasama dengan mereka. Terkadang ia memberikan penyuluhan kepada
ibu-ibu di rumah sando dengan menggunakan bahasa mandar yang masih
terbata-bata.Melalui pendekatan yang intensif selama empat tahun, akhirnya
bidan Sri Ariati sukses merangkul 18 orang sando di wilayah kerjanya untuk
melakukan kemitraan.
Budaya mengangkat air juga sudah
tidak dilakukan lagi. Saat ini bidan Sri Ariati bukan hanya seorang bidan,
tetapi juga tokoh yang dihormati. Masyarakat di desanya memberinya julukan
”Daeng Sombere” yang berarti si peramah.
Menuju Generasi Sehat di Tanah Deli
Nama
:
Bidan Dewi Susila
Usia
:
32tahun
Bidan
:
sejaktahun1998
Lokasi
:
Desa Tanjung Morawa – A, Kec. Tanjung Morawa,
Kabupaten Deli Serdang
Penghargaan
: Bidan
desa terbaik 1 kab. Deliserdang 2009
Bidan
Dewi Susila adalah seorang aktivis pencegahan HIV/AIDS usia dini di Kecamatan
Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara. Kecamatan Tanjung Morawa terletak
di kawasan Industri yang berjarak kurang lebih 60 kilometer dari kota Medan.
Mayoritas penduduk di daerah ini bermata pencaharian sebagai buruh pabrik.
Daerah ini merupakan wilayah kecamatan dengan angka penyebaran HIV paling
tinggi di kabupaten Deli Serdang. Saat ini tercatat ada 138 kasus HIV/AIDS yang
umumnya ditularkan melalui penyalahgunaan narkoba suntik.
Penyalahgunaan narkoba cukup marak di kalangan pemuda Tanjung Morawa
akibat anggapan bahwa mengonsumsi narkoba adalah tren yang patut diikuti.
Kondisi ini diperparah dengan kekurangpahaman mereka akan bahaya dan cara
penularan HIV/AIDS. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab tingginya angka
infeksi HIV/AIDS di wilayah ini. Melihat permasalahan tersebut, bidan Dewi
Susila merasa terpanggil untuk melakukan pencegahan penularan HIV/AIDS sejak
dini. Bidan meyakini, usia remaja merupakan usia yang tepat untuk mendapatkan
melalui program “Kesan Pertama”. Secara umum, program ini merupakan kegiatan
penyuluhan kesehatan bagi remaja yang dikemas secara menarik dan menyenangkan.
Remaja merupakan cikal bakal terbentuknya keluarga sekaligus usia paling rentan
terpengaruh narkoba. Untuk itu bidan Dewi Susila memfokuskan programnya untuk
menyasar kelompok usia ini.
Dalam
pelaksanaan program KesanPertama, bidan mendatangi secara langsung kegiatan
rutin kelompok remaja desa dan sekolah untuk memberikan pendidikan kesehatan
dan Tanya jawab. Materi yang disampaikan antara lain penyuluhan kesehatan
reproduksi, motivasi, kepemimpinan, pendewasaan usia perkawinan, diskusi
tentang perilaku hidup bersih dan sehat, penyalahgunaan narkoba, dan pencegahan
HIV/AIDS. Kesan Pertama dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan.
Program ini diselenggarakan melalui pertemuan rutin yang diadakan setiap bulan
dan ditutup dengan acara puncak yang diadakan setiap tahun. Acara puncak dari
program ini adalah kegiatan kemah dan outbond bersama yang melibatkan pembicara
kesehatan, remaja, ibu-ibu dan lansia. Sejauh ini program Kesan pertama telah
melibatkan 180 orang yang mayoritas adalah remaja. Mereka yang terlibat dalam
program ini nantinya disiapkan untuk menjadi agen penyebar informasi mengenai
bahaya dan cara penularan HIV/AIDS. Melalui program ini pula terungkap para
penderita HIV/AIDS baru yang akhirnya mau memeriksakan diri untuk mencegah
penularan penyakit ini ke orang lain.
Komentar:
KB Pria Tanda Cinta
Nama
:
Bidan Ni Nyoman Rai Sudani
Usia
:
51 tahun
Bidan
:
sejak tahun 1982
Lokasi
:
Kecamatan Abiansemal, Kab. Badung, Bali
Penghargaan
:
juara 1 lomba KB pria, kab. Badung
Ni Nyoman rai Sudani, lahir di
Badung, Bali pada 28 Oktober 1960. Sebagai bidan di puskesmas Abiansemal 3,
Badung, Bali beliau aktif mempromosikan KB pria (Vasektomi) di wilayahnya.
Kecamatan Abiansemal berlokasi
sekitar 15 Km dari pusat Kabupaten Badung, Bali. Mayoritas penduduknya
berprofesi sebagai petani di samping pedagang dan tukang.Untuk mewujudkan
keluarga kecil bahagia sejahtera, Ibu Rai Sudani menjadi mitra warga Abiansemal
yang ingin melakukan program keluarga berencana (KB). Namun selama melayani
peserta KB di daerahnya, beliau banyak menerima keluhan dari para ibu yang
bermasalah dengan alat kontrasepsi yang dipakainya. Masalah yang dihadapi
biasanya berhubungan dengan menstruasi yang tidak lancar, sakit, dan
mengeluarkan terlalu banyak darah. Selain itu 5 pasiennya tetap hamil walau
sudah ber-KB.
Masalah ini teryata juga pernah
dialami oleh Bidan Rai Sudani sendiri beberapa tahun yang lalu sebelum suaminya
memutuskan untuk mengikuti KB Vasektomi. Berdasarkan pengalamanya, KB Vasektomi
mampu menghindarkan perempuan dari efek samping pemakaian kontrasepsi wanita
namun aman bagi pria. Berangkat dari pengalaman ini Ibu Rai Sudani kemudian
tergerak untuk mempromosikan KB Vasektomi di kecamatan Abiansemal.
Kegiatan promosi KB Vasektomi ini
antara lain melakukan konseling kepada calon akseptor. Akseptor ini
diprioritaskan dari keluarga kurang mampu dan mempunyai anak lebih dari 2.
Selain itu juga diadakan pertemuan rutin para akseptor vasektomi setiap bulan.
Usaha mempromosikan KB Vasektomi ini bukan tanpa masalah. Masyarakat sampai
saat ini masih mempercayai rumor bahwa KB Vasektomi dapat menimbulkan gangguan
dan mengurangi kenikmatan berhubungan seksual bagi pemakainya. Padahal
berdasarkan pengalaman selama ini, para akseptor vasektomi tidak mengalami
masalah seperti itu. Justru melindungi istri untuk terhidar dari efeksamping
dari kontrasepsi. Bidan Rai Sudani telah menghimpun 15 orang peserta Vasektomi
yang kini menjadi promotor kepada anggota masyarakat yang lain.
Komentar:
Bidan Dekat Bersalin Selamat
Nama
: Bidan Ponirah
Usia
: 43 tahun
Bidan
: sejak tahun 1990
Lokasi
: Desa Harjatani,
Kabupaten Serang, Banten
Ibu Hj. Ponirah Lahir di Lampung pada
2 Mei 1968. Sejak 1995 beliau merintis Bidan Praktek Swasta (BPS), sebuah unit
pelayanan kesehatan mandiri di Desa Harjatani, Kecamatan Keramat Watu, Serang
Banten. Namun, karena lokasi tersebut berada di perbatasan desa Waringin
Kurung, beliau lebih banyak melayani warga desa ini dibandingkan warga
Harjatani.Desa Waringin Kurung dan Harjatani terletak kurang lebih 25 kilometer
dari Kota Serang. Mayoritas penduduk di desa ini bermata pencaharian sebagai
petani salak dengan rata-rata penduduk masih berada di bawah garis kemiskinan.
Karena lokasinya yang jauh dari rumah
sakit, kehamilan dan persalinan di desa ini lebih banyak di tolong oleh dukun
beranak atau “Parai”. Hal ini menyebabkan proses persalinan menjadi beresiko
hingga berdampak pada tingginya angka kematian ibu dan bayi. Kebanyakan kasus
kematian bayi terjadi akibat dukun yang masih menangani persalinan tidak normal
tanpa menganjurkan ibu untuk dirujuk ke rumahsakit.Berangkat dari masalah
tersebut, Bidan Ponirah terinspirasi untuk mendirikan Bidan Praktek Swasta
(BPS) di tempat tinggalnya. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesehatan serta
mengurangi angka kematian bayi di Waringin Kurung dan Harjantani.
Kegiatan di BPS ini meliputi
pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan normal, senam hamil, konsultasi
reproduksi, KB, imunisasi, dan konsultasi gizi balita.Selain kegiatan tersebut,
melalui Bidan Ponirah juga menjalin kemitraan dengan 10 dukun bayi di
wilayahnya. Dengan kemitraan ini semua proses persalinan di desa Waringin
Kurung dan Harjatani berada di bawah pengawasan bidan.
Dengan adanya BPS ini, warga mendapatkan
layanan kesehatan dan konsultasi yang siaga 24 jam. Dengan demikian keselamatan
persalinan dan warga masyarakat secara umum lebih terjamin.
Komentar:
Modal Koperasi Bekal Mandiri
Nama :
Bidan Sri Puayah
Usia:Bidan
: sejak
tahun 1996
Lokasi
:
Kel. O. Mangunharjo Kec Purwodadi Kab. Musi Rawas
Sumatera Selatan
Penghargaan
:
bidan terbaik 1 kab. Musi rawas (2001), bidan terbaik 2 prop. Sumsel
(2002), Bidan delima sumatera selatan (2008)
Bidan Sri Puayah lahir di Musi Rawas,
05 Agustus 1977. Terhitung Juli 2011 beliau bertugas di Desa O.
Mangunharjo kecamatan Purwodadi, kabupaten Musi Rawas. Sebelumnya beliau
bertugas di Desa P1 Mardiharjo dan mempelopori berdirinya Koperasi Simpan
Pinjam Barokah. Meskipun pindah tugas, beliau masih aktif di koperasi ini.Desa
p1 Mardiharjo berlokasi…. Dengan mayoritas penduduk bermatapencaharian
sebagai.. (kondisi geografi dan ekonomi warga)
Selama mengabdi di desa ini Sri
menyadari bahwa perannya sebagai bidan sangat besar, mengingat profesi bidan berhubungan
langsung dengan kehidupan bermasyarakat bukan di bidang kesehatan saja.
Keinginannya untuk berbuat lebih banyak demi Desa membuka pikirannya untuk
mendirikan koperasi yang nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya di
bidang kesehatan.Melalui musyawarah dan mufakat bersama akhirnya bersama
masyarakat dibentuklah koperasi JPKM Barokah pada Agustus tahun 2002
beranggotakan 34 orang. Hasil usaha dari system koperasi ini dialokasikan untuk
berbagai program perbaikan kesehatan ibu dan anak di desa P1 Mardiharjo.
Awalnya bidan Sri Partiyah mendirikan
koperasi barokah untuk membantu ibu-ibu melaksanakan proses persalinan maupun
pemeriksaan kehamilan. Namun, pada2007 pemerintah mengeluarkan program
jaminan persalinan (Jampersal) untuk warga kurang mampu. Dengan demikian bidan
mengalihkan fungsi koperasi social Barokah menjadi koperasi yang nantinya bisa
membantu ibu-ibu dalam mendirikan usaha rumahtangga maupun usaha lain yang
nantinya bisa menambah pendapatan bagi keluarga mereka.Selain bantuan modal
untuk meningkatkan pendapatan, Koperasi Barokah juga perperan dalam perbaikan
gizi ibu hamil, pemberian makanan tambahan bagi balita, dan perbaikan gizi bagi
lansia.
Beberapa hasil positif yang
didapatkan dengan adanya koperasi ini antara lain :
• Gizi ibu hamil terpenuhi
selama kehamilan sampai akhirnya ibu bayi sehat dan selamat.
• Terpenuhinya pemberian ASI
eksklusif bagi bayi
• Kasus BGM dan BGT di desa
teratasi yang terkoreksi dari berat badan balita naik, dan berada
pada garis normal
• Kunjungan Posyandu Lansia
bertambah
• Dari danayang diberikan,
keluarga memiliki usaha industri rumah tangga sebagai tambahan penghasilan
bagi keluarga. Usaha yang ada berupa produksi makanan ringan.
Sumber : Srikandi Award - Sebuah Ajang Penghargaan Bagi
Bidan-bidan Inspirasional Indonesia http://bidanku.com/index.php?/srikandi-award-sebuah-ajang-penghargaan-bagi-bidan-bidan-inspirasional-indonesia#ixzz2LVHAq6ci
Komentar:
Bidan Sunarti Peraih Srikandi Award Mendapat Ucapan Bupati
Kamis,20 Desember 2012
WATES (KR
radio) Bupati Kulonprogo dr. H. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K) menyampaikan selamat
atas keberhasilan bidan Sunarti yang bekerja di Puskesmas 2 Kokap sebagai bidan
terbaik nasional dengan kategori Inisiatif Pemberdayaan Ekonomi Pangan dan
mendapatkan penghargaan Srikandi Award 2012 dalam Pos Bhakti Bidan yang
diselenggarakan oleh Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Pusat.
“Dengan
keberhasilan seorang bidan di Kulonprogo juga mendukung visi kabupaten
Kulonprogo yang sehat, mandiri, berprestasi, adil, aman dan sejahtera
berdasarkan iman dan taqwa, yang dilakukan bu Bidan ini mencerminkan suatu
bentuk kegiatan yang luar biasa, selain berprestasi juga mandiri karena
memberikan suatu pembelajaran kepada masyarakat sekitar bagaimana supaya
kegiatan-kegiatan penunjang kesehatan mengadakan suatu sumber gizi yang untuk
memenuhinya dengan membudidayakan jamur, sayur-sayuran, sungguh luar
biasa karena mempunyai inovasi yang tidak egoisme sektoral hanya dalam
bidangnya sendiri, tapi mau keluar dari bidang garapannya untuk peduli terhadap
masalah budidaya, “terang Hasto di rumah dinasnya, Kamis (20/12).Terkait
pelayanan persalinan di tingkat nasional 60 persen ditangani bidan dan 5
persen oleh dokter ahli kandungan serta sisanya dari non medis.
Kondisi di Kulonprogo menurut Hasto, pelayanan sudah
tinggi karena 90 persen persalinan telah ditangani tenaga medis terdidik,
dukun bayi juga sedikit.
“Permasalahannya
meskipun ditangani medis masih banyak kekurangan sehingga tinggal
menyempurnakan, di Kulonprogo pada tahun 2012 yang melahirkan meninggal ada 3
orang dan itu terendah, itu semua tidak ada yang terlantar di rumah semua sudah
upaya medis yang maksimal,”terang Hasto.
Hasil
penjurian telah memutuskan nama-nama bidan terbaik dalam menjalani Pos Bhakti
Bidan karena dinilai sesuai kriteria juri serta berhasil guna saat diterapkan
di daerah bidan masing-masing.
Penghargaan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu Inisiatif Pemberdayaan
Ekonomi dan Pangan yang dimenangkan oleh Bidan Sunarti dari Kokap,
Kulonprogo, D.I Yogyakarta, Inisiatif Peningkatan Kesehatan Anak yang
dimenangkan oleh Bidan Rahmi dari Muna, Sulawesi Tenggara, dan Inisiatif
Peningkatan Kesehatan Ibu yang dimenangkan oleh Bidan Siti Kholifah dari
Pacitan, Jawa Timur.
Bidan
Sunarti dinobatkan sebagai pemenang berkat Inisiatifnya dalam meningkatkan
taraf ekonomi di desanya. Ia mensosialisasikan pentingnya gizi seimbang, serta
bagaimana memenuhi kebutuhan gizi tersebut. Sosialisasi juga mencakup cara
pengolahan makanan bergizi dengan berbagai variasi.
"Keadaan ekonomi di Desa Kokap masih kurang baik. Ibu Rumah Tangga
hampir seluruhnya masih bergantung pada suami untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga. Dengan program sosialisasi yang saya jalankan, saya bisa mengajak
para ibu untuk ikut aktif menanam jamur dan berbagai macam sayuran lain di
pekarangan rumah. Jamur dan sayuran dapat diolah menjadi sumber pangan yang
bergizi yang dapat menambah gizi anak mereka dan jika hasilnya berlebih bisa
dijual," ungkap Sunarti. (dani wibisono)