PENDIDIKAN KARAKTER:
Konsep dan Implementasinya dalam
Pembelajaran di Sekolah/Madrasah[1]
Oleh Muzhoffar Akhwan[2]
Pendahuluan
Penguatan pendidikan moral (moral
education)[3] atau
pendidikan karakter (character education)[4] dalam konteks sekarang sangat relevan untuk
mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut
antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan
anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan
menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang
lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi
secara tuntas.
Krisis
yang melanda pelajar (juga elite politik) mengindikasikan bahwa
pendidikan agama dan moral yang didapat di bangku sekolah (kuliah) tidak
berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat
adalah begitu banyak manusia Indonesia yang tidak koheren antara ucapan dan
tindakannya. Kondisi demikian, diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh
dunia pendidikan.[5]
Demoralisasi tejadi karena proses
pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas
teks dan kurang mempersiapkan siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan
yang kontradiktif. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah/madrasah, bisa
jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitik
beratkan kepada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft
skill atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan moral belum
diperhatikan.
Padahal, pencapaian hasil belajar siswa
tidak dapat hanya dilihat dari ranah kognitif dan psikomotorik, sebagaimana
selama ini terjadi dalam praktik pendidikan kita, tetapi harus juga dilihat
dari hasil afektif, Ketiga ranah berhubungan secara resiprokal, meskipun
kekuatan hubungannya bervariasi dari satu kasus ke kasus yang lain. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas pencapaian hasil kognitif
terjadi sejalan dengan efektivitas pencapaian ranah afektif.[6]
Dalam Renstra Kemendiknas
2010-2014 telah dicanangkan visi
penerapan pendidikan karakter, maka diperlukan kerja keras semua pihak,
terutama terhadap program-program yang memiliki kontribusi besar terhadap
peradaban bangsa harus benar-benar dioptimalkan. Namun, penerapan pendidikan
karakter di sekolah/ madrasah memerlukan pemahaman tentang konsep, teori,
metodologi dan aplikasi yang relevan dengan pembentukan karakter (character
building) dan pendidikan karakter (character education).
Berdasarkan persoalan di atas, maka makalah
ini akan membahas tentang Pendidikan Karakter:
Konsep dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Semoga bermanfaat.
Konsep
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter telah menjadi
perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas,
bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga
masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the
deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character
development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan
sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal.
Menurut Lickona, karakter berkaitan
dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling),
dan perilaku moral (moral behavior).[7]
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakanbahwa karakter yang
baikdidukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik,
dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan dibawah ini merupakan bagan
kterkaitanketiga kerangka pikir ini.
Gambar:
keterkaitan antara komponen moral dalam rangka pembentukan
Karakter yang baik
menurut Lickona
Berdasarkan tujuan pendidikan nasional,
maka pendiikan karakter adalah suatu
program pendidikan (sekolah dan luar dekolah) yang mengorganisasikan dan
menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan memerhatikan
pertimbangan psikologis untuk pertimbangan pendidikan.
Tujuan pendidikan karakter adalah
mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu, nilai-nilai yang diterima secara
luas sebagai landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab. Nilai-nilai ini
juga digambarkan sebagai perilaku moral.[8]
Pendidikan karakter selama ini baru dilaksanakan pada jenjang pendidikan pra
sekolah/madrasah (taman kanak-kanak atau raudhatul athfāl). Sementara
pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya kurikulum di Indonesia masih belum
optimal dalam menyentuh aspek karakter ini, meskipun sudah ada materi pelajaran
Pancasila dan Kewarganegaraan. Padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu
sumber daya manusia dan segera bangkit dari ketinggalannya, maka Indonesia
harus merombak sistem pendidikan yang ada, antara lain memperkuat pendidikan
karakter.
Strategi pembelajaran yang berkenaan
dengan moral knowing akan lebih banyak belajar melalui sumber belajar
dan nara sumber. Pembelajaran moral loving akan terjadi pola saling
membelajarkan secara seimbang di antara siswa. Sedangkan pembelajaran moral
doing akan lebih banyak menggunakan pendekatan individual melalui
pendampingan pemanfaatan potensi dan peluang yang sesuai dengan kondisi
lingkungan siswa. Ketiga strategi pembelajaran tersebut sebaiknya dirancang secara
sistematis agar para siswa dan guru
dapat memanfaatkan segenap nilai-nilai dan moral yang sesuai dengan potensi dan
peluang yang tersedia di lingkungannya.
Dengan demikian, hasil pembelajarannya
ialah terbentuknya kebiasaan berpikir dalam arti peserta didik memiliki pengetahuan,
kemauan dan keterampilan dalam berbuat kebaikan. Melalui pemahaman yang
komprehensif ini diharapkan dapat menyiapkan pola-pola manajemen pembelajaran
yang dapat menghasilkan anak didik yang memiliki karakter yang kuat dalam arti
memiliki ketangguhan dalam keilmuan, keimanan, dan perilaku shaleh, baik secara
pribadi maupun sosial.
Konsep
Kurikulum
Kurikulum merupakan rencana tertulis
yang berisi tentang ide-ide dan gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh pengembang
kurikulum. Kurikulum dapat diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang
berisi tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus
dilakukan peserta didik, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi
yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta
implementasi dari dokumen yang dirancang dalam kehidupan nyata. Komponen-komponen kurikulum saling berkaitan dan saling
mempengaruhi, terdiri dari tujuan yang menjadi arah pendidikan, komponen
pengalaman belajar, komponen strategi pencapaian tujuan, dan komponen evaluasi.[9] Kurikulum
berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan tujuan pendidikan.
Di era kurikulum 2004-2008 yang
menggunakan kurikulum KBK dan KTSP, pembelajaran lebih mendapatkan penegasan
pada kewenangan guru untuk menentukan indikator, pengalaman belajar, dan
rangkaian belajar yang bisa mengantarkan tercapainya Kompetensi Dasar dan Standar
Kompetensi yang sudah dibuat oleh pemerintah pusat. Bahkan untuk pendidikan agama (PAI) dan
pendidikan kewarganegaraan sudah mendapatkan pembobotan yang jelas, yakni PAI
dengan akhlak mulia atau budi pekerti dan PPKN terkonsentrasi pada kepribadian.
Kalau saja mata pelajaran ini bisa diturunkan dalam pembelajaran nyata di
sekolah/madrasah, dengan fokus dan pendekatan yang jelas pada akhlak mulia,
budi pekerti, dan kepribadian, seharusnya sudah bisa memberi harapan yang jauh
lebih baik untuk memperbaiki akhlak siswa dibanding dengan harapan pada
kurikulum sebelumnya. Namun untuk melakukan penguatan bagi perubahan perilaku
peserta didik yang semakin berakhlak yang mengarah pada perolehan nilai-nilai
hidup, bukan semata-mata nilai angka yang hanya menggambarkan prestasi
akademik, bukan belajar untuk berprestasi dalam kehidupan.
Desain kurikulum pendidikan karakter bukan
sebagai teks bahan ajar yang diajarkan secara akademik, tetapi lebih merupakan
proses pembiasaan perilaku bermoral. Nilai moral dapat diajarkan secara
tersendiri maupun diintegrasikan dengan seluruh mata pelajaran dengan
mengangkat moral pendidikan atau moral kehidupan, sehingga seluruh proses
pendidikan merupakan proses moralisasi perilaku peserta didik. Bukan proses
pemberian pengetahuan moral, tetapi suatu proses pengintegrasian moral
pengetahuan.
Pendidikan karakter dipahami sebagai
upaya menanamkan kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam bentuk sikap, dan
pengalaman dalam bentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati dirinya.[10]
Penamaan pendidikan karakter tidak bisa hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan
atau melatih suatu keterampilan tertentu. Pendidikan karakter perlu proses,
contoh teladan, pembiasaan atau pembudayaan dalam lingkungan peserta didik
dalam lingkungan sekolah/madrasah, keluarga, lingkungan masyarakat, mapun
lingkungan media massa.
Dari pengalaman ada dua pendekatan dalam
pendidikan karakter, yaitu: (1) Karakter yang diposisikan sebagai mata
pelajaran tersendiri; dan (2) Karakter yang built- in dalam setiap mata
pelajaran. Sampai saat ini, pendekatan pertama ternyata lebih efektif
dibandingkan pendekatan kedua. Salah satu alasannya ialah karena para guru
mengajarkan masih seputar teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi
dan aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya, dalam setiap proses pembelajaran
mencakup aspek konsep (hakekat), teori (syare’at), metode (tharekat)
dan aplikasi (ma’rifat). Jika para guru sudah mengajarkan kurikulum
secara komprehensif melalui konsep, teori, metodologi dan aplikasi setiap
bidang studi, maka kebermaknaan yang diajarkannya akan lebih efektif dalam
menunjang pendidikan karakter.
Nilai-nilai karakter antara lain: (1)
Cinta kepada Allah dan alam semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab,
disiplin dan mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang,
peduli, dan kerja sama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang
menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, dan toleransi,
cinta damai, dan persatuan. Untuk implementasinya memerlukan kajian dan
aplikasi nilai-nilai yang terkandung dalam karakter bangsa pada kegiatan
pembelajaran di sekolah/madrasah.
Integrasi nilai karakter bangsa pada kegiatan pembelajaran dapat
dilakukan melalui tahap-tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
Implementasi
Proses pembelajaran pendidikan karakter
secara terpadu bisa dibenarkan karena sejauh ini muncul keyakinan bahwa anak
akan tumbuh dengan baik jika dilibatkan secara alamiah dalam proses belajar.
Istilah terpadu dalam pembelajaran berarti pembelajaran menekankan pengalaman
belajar dalam konteks yang bermakna. Pengajaran terpadu dapat didefinisikan:
suatu konsep dapat dikatakan sebagai pendekatan belajar yang melibatkan
beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna bagi peserta
didik. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu, peserta didik akan memahami konsep yang dipelajari melalui
pengalam langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah dipahaminya
melalui kesempatan mempelajari apa yang berhubungan dengan tema atau peristiwa
autentik (alami).
Dengan demikian, ciri pendidikan terpadu
adalah: (1) berpusat pada peserta didik; (2) memberikan pengalam langsung kepada peserta didik; (3) pemisahan bidang
studi tidak begitu jelas; (4) menyajikan konsep dari berbagai bidang studi
dalam suatu proses pembelajaran; (5) bersifat luwes, dan (6) hasil pembelajaran
dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik.[11]
Integrasi pembelajaran dapat dilakukan
dalam substansi materi, pendekatan,
metode, dan model evaluasi yang dikembangkan. Tidak semua substansi
materi pelajaran cocok untuk semua karakter yang akan dikembangkan, perlu
dilakukan seleksi materi dan sinkronisasi dengan karakter yang akan
dikembangkan. Pada prinsipnya semua mata pelajaran dapat digunakan sebagai alat
untuk mengembangkan semua karakter peserta didik, namun agar tidak terjadi
tumpang-tindih dan terabaikannya salah satu karakter yang akan dikembangkan,
perlu dilakukan pemetaan berdasarkan kedekatan materi dengan karakter yang akan
dikembangkan.
Dari segi pendekatan dan metode meliputi
inkulkasi (inculcation), keteladanan (modeling,qudwah),
fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill
building).[12] Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki
ciri-ciri: (1) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya;
(2) memperlakukan orang lain secara adil; (3) menghargai pandangan orang lain;
(4) mengemukakan keragu-raguan disertai alasan, dan dengan rasa hormat; (5)
tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki; (6) menciptakan pengalaman sosial dan
emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara tidak ekstrem; (7)
membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi disertai
alasan; (8) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju, dan (9)
memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda, apabila sampai
pada tingkat yang tidak dapat diteriuma, diarahkan untuk memberikan kemungkinan
berubah. Pendidikan karakter seharusnya tidak menggunakan metode induktrinasi
yang memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan inkulkasi.
Dalam pendidikan karakter, pemodelan
atau pemberian teladan merupakan strategi yang biasa digunakan. Untuk dapat
menggunakan strategi ini ada dua syarat harus dipenuhi. Pertama, guru
harus berperan sebagai model yang baik bagi peserta didik dan anaknya. Kedua, peserta didik harus
meneladani orang terkenal yang berakhlak mulia, misalnya Nabi Muhammad saw. Cara
guru menyelsaikan masalah dengan adil, menghargai pendapat anak dan mengeritik
orang lain dengan santun, merupakan perilaku yang secara alami dijadikan model
bagi anak.
Inkulkasi dan metode keteladanan (al-qudwah)
mendemonstrasikan kepada peserta didik merupakan cara terbaik untuk mengatasi
berbagai masalah; orang akan melakukan proses identifikasi, meniru, dan
memeragakannya. Dengan metode pembiasaan, seseorang akan memiliki komitmen yang
hebat. Pembiasaan dalam penanaman moral merupakan tahapan penting yang
seyogianya menyertai perkembangan setiap mata pelajaran. Mengajari moral tanpa
pembiasaan melakukannya, hanyalah menabur benih ke tengah lautan, karena moral
bukan sekedar pengetahuan, tetapi pembiasaan bermoral. Fasilitasi melatih
peserta didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan peserta didik dalam melaksanakan metode fasilitasi membawa dampak
positif pada perkembangn kepribadian peserta didik.
Pembelajaran moral bagi peserta didik
akan lebih efektif apabila disajikan dalam bentuk gambar, seperti film,
sehingga peserta didik bukan saja menangkap maknanya dari pesan verbal
mono-pesan, melainkan bisa menangkap pesan yang multi-pesan dari gambar, keterkaitan
antargambar dan peristiwa dalam alur cerita yang disajikan.[13]
Contoh: penyampaian pesan bahwa narkoba itu harus dihindari, maka tayangan tentang derita orang-orang yang dipenjara
karena korban narkoba jauh lebih bermakna daripada disampaikan secara lisan,
melalui metode ceramah. Namun demikian, bila ingin lebih mendalam tingkat
penerimaan mereka, bisa dilanjutkan dengan metode renungan (al-muhasabah)
setelah terkondisikan dengan baik melalui cerita dalam film yang baru saja
ditayangkan.
Kecerdasan, keterampilan, dan
ketangkasan seseorang berbeda-beda, sebagaimana perbedaan dalam temperamen dan
wataknya. Ada yang memiliki temperamen tenang, mudah gugup atau grogi. Ada yang
mudah paham dengan isyarat saja apabila salah dan ada yang tidak bisa berubah,
kecuali setelah melihat mata membelalak, bahkan dengan bentakan, ancaman, dan
hukuman secara fisik. Sekalipun hukuman pukulan merupakan salah satu metode
dalam pendidikan, seyogianya guru tidak menggunakannya sebelum mencoba dulu
dengan cara lain. Metode hukuman digunakan untuk menggugah serta mendidik
perasaan rabbaniyah, yaitu perasaan khauf (takut) dan khusyu’
ketika mengingat Allah dan membaca Al-Qur’an.[14]
Beberapa keterampilan yang diperlukan
agar seseorang dapat mengamalkan nilai yang dianut sehingga berperilaku
konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain:
a.
Keterampilan berpikir kritis,
dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) mencari kejelasan pernyataan atau
pertanyaan; (2) mencari alasan; (3) mencoba memperoleh informasi yang benar;
(4) menggunakan sumber yang dapat dipercaya; (5) mempertimbangkan keseluruhan situasi;
(6) mencari alternatif; (7) bersikap terbuka.
b.
Keterampilan mengatasi masalah.
Masih banyak orang mengatasi konflik dengan kekuatan fisik, padahal cara
demikian itu biasa digunakan oleh binatang. Manusia yang menggunakan nilai
religius dan prinsip moral dalam penyelesaian masalah kehidupan, perlu
diajarkan cara mengatasinya yang konstruktif.
Perilaku moral (moral action)
dapat dievaluasi secara akurat dengan melakukan observasi dalam jangka waktu
yang relatif lama dan secara terus menerus. Pengamat atau pengobservasi harus orang yang sudah mengenal orang-orang
yang diobservasi agar penafsirannya terhadap perilaku yang muncul tidak salah.
Kesimpulan
1.
Pendidikan yang hakiki merupakan
ikhtiat untuk memperoleh nilai hidup, bukan nilai angka sebagaimana lazimnya
saat ini, tetapi menghasilkan makna dari setiap pengetahuan yang dipelajarinya. Pemerolehan makna menjadi
ukuran dari setiap proses pembelajaran. Tak ada proses belajar, bila belum
menghasilkan rekonstruksi makna baru yang dapat memberikan pencerahan bagi si
pembelajar.
2.
Dunia pendidikan kita lebih
sering menggunakan tes yang mengukur ranah pengetahuan ketimbang untuk mengukur
ranah afektif. Soal-soal pada saat ulangan atau ujian nasional pun lebih banyak
menuntut kemampuan kognitif daripada mengukur ranah afektif, akibatnya produk
pendidikannya, output atau outcome, kurang memiliki moralitas
yang baik. Tidak malu melakukan korupsi, tidak takut berbuat dosa dan
kesalahan, serta tidak resah bila berbuat kezaliman.
3.
Pendidikan karakter memerlukan
metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara
metode pembelajaran yang sesuai adalah metode keteladanan (al-qudwah), metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.
BIBLIOGRAFI
Abul `Ainain,
`Ali Khalil, Falsafah al-Tarbiyat al-Islāmiyah fi al-Qur`ān al-Karīm,
Cairo: Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1980.
Al-Abd,
Abdullatīf Muhammad, al-Akhlāq fi
Al-Islām, Cairo: Universitas Cairo, t.t.
Al-Abrasyi,
Athiyah, al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Falāsifatuhā, Bairut: Dār al-Fikr,
1969.
Al-Attas, Syed
Muhammad Al-Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1987.
Al-Nahlawy, Abd
al-Rahman, Ushūl al-Tarbiyah al-Islāmiyah
wa Asālibuha fi
al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, edisi ke-25, Damaskus: Dar al-Fikr,
2007.
Amin, Ahmad, Kitāb
al-Akhlāq, Cairo: Dar al-kutub al-Mishriyah, 1929.
Ashraf,
Ali, “Aim and Objectives of Islamic Education”, dalam Sajjad Husain dan Ali
Ashraf (eds), Crisis Muslim Education, Jeddah: Hodder and Stughton King Abdul Aziz University, 1979.
Barnadib, Imam, Dasar-Dasar
Kependidikan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996.
_______, Filsafat
Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset, 1997.
Daradjat,
Zakiyah, et. al, Ilmu Pendidikan Islam, cet. 9, Jakarta: Bumi Aksara,
2011.
Ebel, Robert L.,
“What are Schools for” dalam Harvey F. Clarizio et all (ed)., Contemporary
Issues in Educational Psychology, llyn and Bacon, Inc, Boston, 1977.
Knight, George
R., Issues and Alternatives in Educational Philosophy, Michigan: Andrews
University Press, 1982.
Mastuhu, Membumikan
Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Muchsin, M.
Bashori, Moh Sulthon, dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Humanistik,
Bandung: Refika Aditama, 2010.
Zuchdi,
Darmiyati, Humanisasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
[1]Makalah
dipersiapkan dan disajikan dalam diskusi dosen Fakultas Ilmu Agama Islam UII,
tanggal 2 Nopember 2011.
[2] Dosen
Fakultas Ilmu Agama Islam UII.
3Moral,
karakter dan akhlak memiliki perbedaan. Moral adalah pengetahuan seseorang
terhadap hal baik dan buruk yang ada dan melekat dalam diri seseorang. Istilah
moral berasal dari bahasa Latin mores dari suku kata mos, yang
artinya adat istiadat, kelakuan tabiat, watak. Moral merupakan konsep yang
berbeda. Moral adalah prinsip baik buruk sedangkan mor litas merupakan kualiras
pertimbangan baik buruk. Pendidikan moral adalah moral pendidikan. Moral
pendidikan adalah nilai-nilai yang terkandung secara built in dalam
setiap bahan ajar atau ilmu pengetahuan. Akhlak (bahasa Arab), bentuk plural
dari khuluq adalah sifat manusia yang terdidik. Baca Muhammad al-Abd,
t.t., al-khlāq fi al-Islām, (Cairo: al-Jami’ah al-Qahirah,
t.t.), hln. 11.
[4] Karakter adalah tabiat seseorang
yang lansung di-drive oleh otak. Munculnya tawaran istilah pendidikan
karakter (character education) merupakan kritik dan kekecewaan terhadap
praktik pendidikan moral selama ini. Walaupun secara substansial, keduanya
tidak memiliki perbedaan yang prinsipiil.
[5]Zubaidi, 2011. Desain
Pendidikan Karakter, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 2.
[6]Hadjar,
“Evaluasi Hasil Belajar Afektif Pendidikan Agama: Konsep dan Pengukurannya”,
Muntholi’ah (ed.), Guru Besar Bicara Mengembangkan Keilmuan Pendidikan
Islam, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisanga dan RaSAIL Media
Group, 2010), hlm. 215.
[7] Zubaedi,
Desain...., hlm. 29.
[8] Zuchdi, Humanisasi
Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), hlm. 39.
[9] Sanjaya,
Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenda Media Group, 2010),
hlm. 16.
[10]
Zubaidi, 2011. Desain..., hlm. 17.
[11]
Zubaedi, Desain...., hlm. 268.
[12] Zuchdi,
Humanisasi...., hlm. 46-50.
[13]
Dalam dunia pendidikan, terutama yang berkaitan dengan pembelajaran, peran
media pembelajaran begitu kuat. Albert Meharabien menemukan peran media dalam
menyampaikan informasi, dengan rumus tiga V. Verbal; hanya bisa menyampaikan
7%, Vocal; bisa menyampaian 38%, apabila disertai dengan warna suara yang
variatif dan intonasi yang tepat, sedng visual; bisa mencapai angka keefektifan
hingga 55%. Manusia memiliki kemampuan lebih optimal untuk menangkap makna,
melalui kesan yang bersifat visual dibandingkan yang verbal dan vocal. Baca
Mursidin, Moral Sumber Pendidikan, Sebuah Formula Pendidikan Budi Pekerti di
Sekolah/Madrasah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 81-82.
[14] Al-Nahlawi, Ushul
al-Tarbiyah al-Islāmiyah wa Asālibuhā fi al-Bait wa
al-Madrasah wa al-Mujtama’, edisi ke-25, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2007), hlm. 232-233.Bandingkan
Amin, Kitāb al-Akhlāq, (Cairo: Dar
al-kutub al-Mishriyah, 1929), hlm. 3.
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar